Home » » Anomali Pendidikan

Anomali Pendidikan

Written By ISPI Banyumas on 21/03/08 | 3/21/2008

Oleh:

Drs. F.A. Agus Wahyudi
Pegiat Figurmas (Forum Interaksi Guru Banyumas)

Kebijakan pendidikan nasional saat ini masih tidak jelas, hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat teknis, dan belum menyentuh persoalan-persoalan substansial, sehingga mutu pendidikan tidak kunjung membaik.(Mochtar Buchori, Kompas, 2 November 2006) Fakta bahwa secara individual ada beberapa siswa yang menunjukkan prestasi dalam olimpiade sains tingkat internasional adalah benar adanya. Akan tetapi, keberhasilan itu tidak serta-merta menggambarkan mutu pendidikan di Indonesia.


Hal ini dapat dilihat dari laporan tentang pembangunan manusia Indonesia yang dipublikasikan UNDP pada tahun 2004, di mana Human Development Index Indonesia berada di urutan ke-111 dari 175 negara. Sementara penguasaan matematika siswa kelas II SMP, sebagaimana tercermin dalam hasil tes Trends in Mathematics and Sciences Study 2003, Indonesia berada pada urutan ke-34 dan 36 untuk sains dari 46 negara.


Kondisi pendidikan yang memprihatinkan ini mestinya disikapi oleh pemerintah (Depdiknas) dengan mengambil kebijakan yang strategis dan berkesinambungan. Akan tetapi, kenyataannya justru banyak kebijakan pendidikan yang anomali, menyimpang dari kenormalan.

Pertama, pembagian kupon pendidikan yang dilakukan oleh ketua dan beberapa anggota DPR. Selain tidak transparan dan akuntabel, kebijakan ini membuktikan pendidikan digunakan sebagai media propaganda politik oleh segelintir penguasa guna meraih kekuasaan semata. Barangkali maksudnya baik, tetapi caranya yang tidak benar sehingga dihentikan oleh Wapres Jusuf Kalla.

Mestinya tidak cukup dihentikan, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut tuntas dan kalau terbukti melawan hukum, maka harus dimejahijaukan. Apa pun alasannya, peredaran kupon pendidikan ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan bernuansa KKN. Kalau pemberian parsel saja dilarang KPK, mengapa pendidikan pendidikan yang jumlahnya miliaran rupiah didiamkan saja?

Kedua, pemberlakuan Kurikulum 2006 atau biasa disebut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum ini pengganti Kurikulum 2004; lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Ketika KBK disosialisasikan kepada sekolah dan guru, para birokrat pendidikan dengan "semangat �45" mengatakan bahwa KBK merupakan wujud dari desentralisasi pendidikan dan sebuah terobosan pendidikan yang nantinya bakal mendongkrak mutu pendidikan. Setelah dua tahun KBK dilaksanakan hampir di semua jenis dan jenjang sekolah di Tanah Air, Depdiknas dengan enteng mengatakan bahwa KBK adalah kurikulum uji coba dan belum ada landasan hukumnya karena belum ditandatangani oleh Mendiknas sehingga layak untuk diganti.

Pada awalnya, KBK memang diujicobakan pada beberapa sekolah yang disebut dengan sekolah mini piloting. Tetapi, belum dilakukan evaluasi secara menyeluruh, Depdiknas sudah memberlakukan KBK secara nasional. Dan, tiba-tiba KBK diganti KTSP, dengan alasan yang irasional. Lagi-lagi sekolah, guru, orangtua, dan siswa yang menjadi korban.

Pemberlakuan KTSP pun dilakukan tanpa sebuah persiapan matang. Hal ini dapat dilihat dari rentang waktu penandatanganan dengan pelaksanaan Peraturan Mendiknas No 22, 23, dan 24. Peraturan Mendiknas ditandatangani tanggal 23 Mei 2006, tetapi sekolah wajib melaksanakan mulai bulan Juli tahun pelajaran 2006-2007.

Peraturan Mendiknas memberi amanat, KTSP disusun dan dikembangkan oleh masing-masing jenis dan jenjang sekolah dengan berpedoman pada Standar Isi yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan, serta disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan daya dukung sekolah. Untuk menyusun dokumen KTSP, sekolah wajib menyelenggarakan workshop dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Dokumen KTSP dinyatakan berlaku setelah mendapatkan legalisasi dari kepala dinas pendidikan kabupaten/kota untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), dan kepala dinas pendidikan provinsi untuk jenjang menengah (SMA/MA dan SMK). Secara teknis, proses penyusunan dokumen KTSP ternyata membutuhkan waktu yang tidak singkat sehingga pada tahun pelajaran 2006-2007 secara de jure sekolah menggunakan KTSP, tetapi de facto sekolah belum memiliki dokumen KTSP.

Ketiga, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai sebuah produk hukum yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air ternyata tidak sepenuhnya ditaati oleh pemerintah. Pasal (5) dengan tegas menyebutkan, "... negara menjamin setiap warga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu". Dan untuk mewujudkan itu, dalam Pasal (49) dinyatakan, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD". Realitasnya, hingga saat ini amanat itu belum terwujud. Bahkan, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan gugatan PGRI dan ISPI pun tidak "digubris" pemerintah.

Keempat, privatisasi pendidikan. Amanat konstitusi dengan tegas menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi, pemerintah akan mengingkari tanggung jawab itu dengan mengeluarkan RUU Badan Hukum Pendidikan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR. Dengan privatisasi pendidikan, sama saja negara melegitimasi masuknya kapitalisme pendidikan sehingga hanya orang-orang "berduit" yang dapat mengakses pendidikan.

Kelima, soal otonomi sekolah dan guru. Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan, "Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik perguruan tinggi". Dan dalam Pasal 58 Ayat 1 dinyatakan, "Evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan".

Dua pasal ini mengamanatkan bahwa otoritas evaluasi pendidikan itu ada di tangan guru. Artinya, penetapan kedalaman, keleluasaan evaluasi, penetapan kisi-kisi, penetapan butir soal, analisis item soal, sampai pada pengambilan keputusan semestinya ada di tangan guru. Namun, kenyataannya otonomi itu diambil alih oleh Depdiknas melalui ujian nasional (UN) dengan legitimasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang justru bertentangan dengan UU Sisdiknas. Gugatan guru, orangtua, dan siswa korban UN yang sekarang masih dalam proses peradilan adalah fakta yang tak terelakkan.

Keenam, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Harapannya melalui undang-undang ini ada jaminan atas profesionalisme, perlindungan, karier, dan kesejahteraan guru sehingga dapat menjadi modal dasar dalam mendongkrak mutu pendidikan. Sebab, guru adalah ujung tombak dalam proses pendidikan.
Akan tetapi, UU ini hanyalah pepesan kosong karena tidak sesuai dengan realitas kualifikasi dan kompetensi guru di Indonesia sekarang.

Hasil evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2004, dari 2,7 juta guru menunjukkan bahwa ketidaksesuaian ijazah yang mengajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah menunjukkan kecenderungan yang kurang menggembirakan jika mengacu pada persyaratan yang ada. Guru SD tercatat 66,11 persen yang tidak memiliki ijazah sesuai ketentuan, guru SMP 39,99 persen, dan guru SMA sebanyak 34,08 persen.

Selain itu, secara umum terdapat 15,21 persen guru pada berbagai jenjang pendidikan dasar dan menengah mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya. UU Guru dan Dosen mengamanatkan dalam kurun waktu 10 tahun persoalan tersebut akan teratasi. Ini target yang tidak realistis: "bagai pungguk merindukan bulan".

Masih banyak anomali (kebijakan) pendidikan yang harus dibenahi. Apabila pendidikan diyakini sebagai investasi masa depan bangsa, saatnya pemerintahan SBY-JK berani menempatkan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan dan mendekrontruksi semua bentuk regulasi dan paradigma pendidikan agar sesuai dengan semangat pembukaan UUD 45. Jangan biarkan bangsa ini menjadi bangsa yang gagal.



Share this article :

0 komentar:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) - Kontak Person : 0812 2935 3524
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger