Home » » HEBOH 20 PERSEN ANGGARAN PENDIDIKAN

HEBOH 20 PERSEN ANGGARAN PENDIDIKAN

Written By ISPI Banyumas on 16/06/08 | 6/16/2008

Oleh:
Prof. Dr. H. SOEDIJARTO, MA
(Ketua Umum Pengurus Pusat ISPI)

Setelah negara Republik Indonesia memperingati tahun kelahirannya yang he-62, cita-cita para pendiri Republik sebagai yang dituangkan dalam Pembukaan U(ID 1945, yaitu "terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; majunya kesejahteraan rakyat Indonesia; cerdasnya kehidupan bangsa; dan ikutnya secara aktif dan bermartabat bangsa Indonesia dalam menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial"; masih jauh dari terwujud.

Walaupun kondisi obyektif yang demikian memprihatinkan, apalagi kalau dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara maju yang merdekanya belasan tahun setelah Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Korea Selatan, tidak ada yang mempermasalahkan latar belakang masalah (akar masalah) yang menyebabkan tidak kunjung terwujudnya cita-cita para pendiri Republik tersebut.

Belajar dari perjalanan sejarah peradaban dunia, kita akan menemukan bahwa bangsa bangsa yang sekarang termasuk dalam gugusan negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul oleh China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, adalah negara-negara yang sejak memulai pembangunannya mendudukkan pendidikan sebagai prioritas pertama. Negara negara ini menganut paradigma "To Build Nation Build School".

Paradigma ini hakikatnya dipegang penuh oleh para pendiri Republik. Karma itu, pada saat para pendiri Republik masih terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sejak tahun 1950, "at all cost" sudah dirancang program wajib belajar sekolah dasar dengan didukung penyelenggaraan pendidikan guru berasrama dan berikatan dings. Universitas negeri dibangun dan dilengkapi dengan asrama mahasiswa putra dan putri lengkap dengan perumahan dosen. Dalam periode itu sampai dengan jatuhnya Presiden Soekarno mengikuti pendidikan tanpa dipungut biaya.

Sejak Orde Baru walaupun "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional"-yang maksud tersiratnya adalah kewajiban pemerintah membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional-pemerintah mulai menetapkan sistem sumbangan pembangunan pendidikan (SPP).

Kebijakan ini hakikatnya melanggar ketentuan Pasal 31 yang sudah dikutip di atas. Karena di negara kesejahteraan di dunia, paling tidak pendidikan wajib belajar memang sepenuhnya dibiayai pemerintah. Karena itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang para anggotanya telah melakukan studi perbandingan ke berbagai negara, sepakat untuk memperjelas semangat yang terkandung dalam Pasal 31. Karena itu, Pasal 31 dari dua ayat menjadi lima ayat dengan tambahan tiga ayat, yaitu a) Ayat (2) yang tertulis: setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya; b) Ayat (5): Pemerintah memajukan Iptek; c).Ayat (4) yang tertulis: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Disayangkan dalam kondisi kesempatan memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan wajib belajar, masih terhalang oleh keharusan membayar berbagai pungutan; pada saat kondisi gedung-gedung sekolah masih memprihatinkan; pada saat sarana dan prasarana sekolah masih jauh dari tuntutan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005; pada saat banyak pelaiar dari SD sampai SMA, dan madrasah tidak memiliki buku; pada saat guru besar ilmu pengetahuan alam dan teknologi tidak memiliki laboratorium; pada saat universitas negeri harus memungut uang kuliah yang di atas penghasilan rata-rata penduduk; pemerintah belum terpanggil untuk berusaha keras memenuhi tuntutan ketentuan Pasal 31 Ayat (2) tentang kewajiban pemerintah membiayai wajib belajar, Ayat (4) tentang perlu disediakannya anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD, dan Ayat (5) UUD 1945 tentang kewajiban pemerintah memajukan iptek.

Dalam kondisi seperti ini, masih ada yang mempertanyakan untuk apa anggaran sebanyak itu? Dan dari mana dana sebanyak itu diperoleh?

Jawaban atas pertanyaan pertama, yaitu untuk apa dana sebesar itu (sekurang-kurangnya 20 persen, bukan 20 persen) karena Thailand sampai 36 persen, Belanda tahun 1996 sampai 37 persen, adalah agar, pertama, semua anak usia wajib belajar, anak siapa pun dan di mana pun, dapat mengikuti pendidikan tanpa dipungut biaya oleh siapa pun, dan agar setiap peserta didik SD dan SMP dapat memperoleh buku pelajaran, buku' bacaan, dan buku rujukan.
Kedua, agar semua sekolah memiliki fasilitas, sarana dan prasarana, seperti yang dituntut PP No 19/2005, termasuk lapangan olahraga, perpustakaan, laboratorium, dan kebun botani. Ketiga, agar lulusan SMP dan SMA yang berprestasi sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Ayat 1 c UU No 20/2003 dapat memperoleh beasiswa untuk meneruskan SMA dan universitas
Keempat, agar para dosen dan guru besar memiliki fasilitas untuk melakukan riset dan memperoleh jaminan hidup yang memungkinkannya berkonsentrasi untuk melakukan darma baktinya sebagai akademisi dan ilmuwan. Kelima, agar guru dapat memperoleh jaminan hidup yang memungkinkan mereka dapat berperan sebagai pendidik yang mampu menerapkan ajaran Ki Hajar Dewantara, "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tutwuri Handayani".

Terhadap pertanyaan kedua, yaitu dari mana dana itu diperoleh? Terhadap pertanyaan ini penulis ingin meminjam kata-kata Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam publikasinya tahun 2004 yang menyatakan "The amount is substantial, but affordable" (The Economics of Democracy, 2004). Yang sangat menyakitkan dan memprihatinkan adalah dalam APBN 2008 persentase anggaran pendidikan trhadap APBN menurun dibandingkan dengan APBN 2007 dari 11 persen menjadi kurang dari 11 persen. Padahal, Mahkamah Konstitusi sudah dua kali memutuskan pada tahun 2006 dan 2007 bahwa anggaran pendidikan di bawah 20 persen bertentangan dengan UUD 1945.

Adalah pandangan penulis bahwa tanpa diupayakan dengan sungguh-sungguh penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan ketentuan UUD 1945, pendidikan nasional bukan hanya tidak akan mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi sebaliknya dapat menghasilkan masalah bangsa.




Share this article :

0 komentar:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) - Kontak Person : 0812 2935 3524
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger