Home » » Pendidikan Multikultural dan Nasionalisme Indonesia

Pendidikan Multikultural dan Nasionalisme Indonesia

Written By ISPI Banyumas on 23/06/08 | 6/23/2008


Prof. Tukiran
Oleh : Prof. Dr. H. Tukiran Taniredja, M.M.
Ketua Dewan Pembina ISPI Banyumas

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujurat, 49:13).


I. Pendahuluan
Keadaan geografi dan demografi Indonesia sebagai negara terbesar di antara negara-negara Asia Tenggara merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 (menurut hasil penelitian ulang oleh Dinas Hidrohosiografi TNI-AL berjumlah 17.508) pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau besar dan kecil, dengan 6.044 doi anataranya memakai nama, dan lain-lain belum dikenal namanya (Lembaga Pertahanan Nasional, 1994:19). Data lain menunjukkan bahwa jumlah pulau Indonesia besar dan kecil adalah 17.670, dan terdapat lebih kurang 665 bahasa daerah dan 300 suku bangsa (www.infoplease.com/2004, dalam Moeis, 2006:IM-1).

Keadaan negara kita yang merupakan negara terbesar di Asia tenggara ini merupakan kebanggan bagi kita. Tetapi jika dilihat dari keragaman bahasa daerah dan suku bangsa, masyarakat kita merupakan masyarakat multikultural. Hal ini merupakan tantangan bagi bangsa kita untuk dapat memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu membangun nasionalisme Ke-Indonesia-an dalam masyarakat multikultural seperti di negara kita ini tidak mudah,. Lebih-lebih pada era global. Menurut Priyatno (2003:vi) masyarakat multikultural membutuhkan pemeliharaan bersama terus menerus serta usaha berkelanjutan yang dinamis. Ia tidak dapat dibiarkan tumbuh begitu saja tetapi juga tidak bisa dijaga hanya oleh kekuasaan belaka.

Munculnya berbagai konflik horizontal serta tuntutan merdeka dari daerah (Aceh, Papua dan Maluku Selatan) memperlihatkan bahwa kita bangsa Indonesia ini sedang menghadapi bahaya disintegrasi nasional dalam tingkat yang cukup parah (Cipto et al, 2002: 167). Masyarakat Majemuk yang mencoba membangun demokrasi secara lebih baik, menurut Makarim (2000:130-131) akan mengalami masa-masa krisis.masyarakat yang sedang dalam krisis itu biasanya kemudian kehilangan pegangan, rasa percaya dirinya melemah, kepercayaan kepada pemerintah pun menurun tajam.

Menguat dan melemahnya integrasi nasional di Indonesia, menurut Bhakti (1994:25), tidak ditentukan hanya oleh perkembangan politik, pertahanan keamanan, ekonomi dan sosial budaya di dalam negeri, tetaopi juga oleh perkembangan situasi internasional, khususnya di kawasan terdekat, yakni Asia Tenggara dan Pasifik Selatan. Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis, yang berdiam di wilayah-wilayah perbatasanmemiliki kaitan darah, agama maupun bahasa dengan para penduduk di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Papua Niugini. Perkembangan politik, pertahanan, ekonomi dan sosial budaya negara-negara tetangga tersebut tentunya akan memberi dampak-dampak positif maupun negatif terhadap integrasi nasional Indonesia, seperti di Sumatera Utara/Aceh, Kalimantan, Sulawesi Utara dan Irian Jaya.

Wawasan kebangsaan Indonesia akhir-akhir ini mengalami ujian yang cukup berat. Ikatan-ikatan yang sebelumnya terpatri kuat dalam sebuah titik pandang sama dalam sebuah nation, kini berkembang dalam kesadaran etnis sempit yang terus meningkat dan merongrong kewibawaan kebangsaan yang dibangun lebih dari lima puluh tahun yang lalu oleh para founding father/mother kita. Bahkan kesadaran etnis tersebut telah mengakibatkan sentimen berlebihan dengan tuntutan merdeka dari beberapa daerah… (Jalil, 2003:v)

Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa kita sebagai negara terkorup nomor satu di Asia dan nomor tiga di dunia, setelah Nigeria dan Kamerun, (Transparancy Internasional, Kompas, 22 Juli 2000) sebagaimana tabel di bawah ini :

Tabel
Peringkat Negara Terkorup di Asia
Rank
Negara
Nilai
1
Indonesia
9,92
2
India
9,17
3
Vietnam
8,25
4
Philipina
8,00
5
Cina
7,00
6
Taiwan
5,83
7
Korea Selatan
5,75
8
Malaysia
5,71
9
Hong Kong
3,33
10
Jepang
3,26
11
Singapura
0,90
Sumber : The Political and Economic Risk Consultancy(PERC) 2002- Jawa Pos 11 Maret 2005 (dalam Suyanto, 2005)

Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada tanggal 14-15 Agustus 2007, tercatat 65,9 persen responden menyatakan bangga menjadi orang Indonesia. Jumlah ini menurun cukup drastis dibandingkan dengan suara publik lima atahun lalu yang mencapai 93,5 persen. Penurunan ini diikuti meningkatnya perasaan tidak bangga.

Pada tahun 2002 tercatat hanya 5,1 persen yang menyatakan tidak bangga menjadi warga Indonesia . Pada 2005 meningkat menjadi 23 persen dan terus meningkat menjadi 23 persen dan terus meningkat pada tahun ini menjadi 34 persen. Pendapat tersebut disuarakan secara merata oleh responden dari berbagai kelompok usia (Suwardiman, 2007: 35)

Suwardiman juga menambahkan bahwa pudarnya rasa bangga sebagai bagian dari warga negara Indonesia ini boleh jadi mencerminkan menipisnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Berbagai masalah yang dihadapi negara ini menggerus semangat kebangsaan warga Indonesia . Sumber kekecewaan respondenpaling banyak bermuara pada persoalan perekonomian serta masalah penegakan hukum di negara ini. Kebobrokan bangsa ini yang paling membuat malu sebagai orang Indonesia, sebanyak 51 persen responden secara spontan menjawab masalah korupsi dan penanganannya.

Ancaman disintegrasi belakangan ini kembali mengemuka. Sejumlah insiden di beberapa daerah seolah menampar kembali konsepsi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa., seperti penyusupan aktivis gerakan RMS dalam peringatan Hari Keluarga XIV di Ambon, penurunan bendera Merah Putih dan pembentukan Partai GAM di NAD (Suwardiman dan Sugihandari, 2007: 5)

II. Nasionalisme Indonesia
Sebagai ideologi, nasionalisme dapat memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas, menyatukan mentalitas mereka, dan membangun atau memperkokoh pengaruh terhadap kebijakan yang ada di dalam kursi utama ideologi nasional (Hertz, dalam Karim, 1996:101)}. Kecuali itu nasionalisme melalui facisme di Italia dan Jerman menentang liberalisme pada tahun 1930-an, walaupun dikalahkan oleh liberalisme pada Perang Dunia II. Facisme sendiri gagal bertahan karena tidak mempunyai doktrin universal seperti liberalisme dan komunisme. Ia menolak keberadaan kemanusiaan bersama atau persamaan hak-hak manusia, dan juga terlalu mengagungkan ras dan bangsa sebagai sumber legimitasi terutama masters race seperti bangsa Jerman untuk memerintah rakyat (Fukuyama, dalam Karim, 1996: 101)).

Pengertian kedua istilah di atas (nasionalisme dan bangsa) tentu berkembang. Dalam hal ini, konsep bangsa tampaknya makin lebih kompleks. Seperti dinyatakan Kelas di atas, sebagaimana liberalisme dan marxisme, nasionalisme tidak pernah menjadi satu sistem gagasan besar, walau pun pengaruhnya melampaui Marxisme dan Liberalisme seperti tampak dalam sejarah dunia modern. Konon, nyaris semua peperangan dalam abad ke-19 dan 20 berakar dalam nasionalisme, dan semua negara sekaran merasa berhutang budi kepadanya karena dari gagasan kebangsaan inilah mereka memperoleh legimitasi.

Pandangan lain tentang bangsa dan kebangsaan dapat dilihat dalam cara pembedaan yang dikemukakan oleh Kapoor (Karim, 1996). Penulis tersebut membedakan dua istilah ini dalam lima aspek : (1). kebangsaan bersifat subjektif, sedangkan negara bersifat objektif; (2) kebangsaan bersifat psikologis, sedangkan negara bersifat politis, (3) kebangsaan adalah satu keadaan berpikir, sedangkan negara adalah menurut hukum (4) kebangsaan adalah milik yang bermakna spiritual, sedangkan negara adalah kewajiban yang dipaksakan (5) kebangsaan adalah cara untuk merasakan, berpikir dan hidup, sedangkan negara adalah keadaan yang tidak dapat dipisahkan dari cara hidup yang berperadaban.

Santoso (2008:6-7) mengingatkan bahwa melemahnya semangat nasionalisme atau wawasan kebangsaan kita, disebabkan oleh beberapa permasalahan antara lain (1) koalitas SDM maíz rendah; (2) militansi bangsa ayang mendekati titik iritis; (3) jati diri bangsa Indonesia ayang sudah luntur. Menghadapi berbagai permasalahan tersebut, apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh, tidak menutup kemungkinan disintegrasi bangsa dapat menjadi encaman actual yang berpengaruh terhadap integritas dan kefaulatan NKRI.

Strategi menghadapi tantangan global untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa menurut Santoso adalah: (1) meningkatkan kualitas kepemimpinan; (2) merevitalisasi/mereaktualisasi nasionalisme; (3) meningkatkan militansi bangsa; (4) meneguhkan jati diri bangsa sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Selanjutnya yang perlu dilakukan hádala meneguhkan dan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai budaza bangsa yang diyakini mampu meningkatkan semangat kebangsaan, dan menetralisis nilai-nilai budaza yang kurang mendukung semangat kebangsaan.

Upaya untuk mewujudkan integrasi nasional menurut Ubaidillah (2000:27), adalah setali tiga uang dengan upaya membangun kesatuan dan peresatuan bangsa. Diperlukan sejumlah langkah-langkah strategis yang dapat mendorong berbagai macam bentuk perbedaan bangsa ini untuk untuk saling berdialog dan berdampingan hidup secara harmonis. Salah satunya adalah dengan mulai menghentikan penggunaan klasifikasi seperti mayoritas-minoritas, penduduk asli-pendatang, pribumi-non pribumi, lebih-lebih yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan politis. Semua istilah ini hanya memupuk subur sikap dan perilaku kelompok-kelompok masyarakat untuk tidak berusaha saling memahami latar belakang budaya dan kultur mereka masing-masing, sehingga berbagai prasangka dan stereotip yang ada justru dibiarkan tumbuh dan bahkan terkesan dipelihara oleh masing-masing kelompok.

Setidaknya terdapat delapan fenomena patologi sosial yang tersisa dari proses transisi, yaitu hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat, memudarnya kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas, kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat, memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan, dan rasa tolong-menolong, melemahnya nilai-nilai dalam keluarga, praktek korupsi, kolusi, nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan, kerusakan sistem dan kehidupan ekonomi, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan (Cipto ,et.,al., 2002:ii-v). Menurut Suyanto (2008:1) segala macam patologi sosial dapat dengan mudah dicegah dan diatasi dengan pendidikan yang baik dan berkualitas. Karena pendidikan diyakini memiliki

III. Pendidikan Multikultural
Multikulturalisme merupakan sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaza (ethnic and culture groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaza alain (Sparringa, 2003:17).

Pendidikan multicultural tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman budaza, karena pendidikan multicultural dalam kerangka transformatif, menurut Nieto dalam Moeis (2006:IM-5) memiliki ciri-ciri:
1.Pengetahuan bukan sesuatu yang netral atau apolitis. Segala sesuatu yang terjadi dalam level kelembagaan memberi bekas lepada proses pembentukan penegetahauan siswa. Terhadap ini guru perlu menyadarinya secara utuh.

2.Siswa dididik melihat fenomena kehidupan dalam kekomplekan serta berbagai perspektif yang tercakup di dalamnya.

3.Pendidikan multicultural memberi nilai nilai tinggi keragaman, berfikir iritis, reflektif, dan kecakapan tindakan social.

4.Pendidikan multicultural hádala proses pemberdayaan siswa dan juga guru untuk mengambil tindakan-tindakan transformatif berdasarkan pemahaman yang benar tentang hak dan tanggung jawabnya.

5.Pendidikan multicultural bukan sekedar mengganti satu persfektif tentang kebenaran dengan persfektif lain, tetapi merefleksikan kebenaran itu atas dasar berbagai persfektif yang bahkan saling bertentangan, sehingga dapat memahami realitas secara utuh.

6.Pendidikan multicultural memungkinkan siswa mengidealkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, supremasi hukum, kesamaan desempatan dalam pendidikan, tetapi juga mendidik siswa untuk menerima realita nilai tersebut secara kritis.

7.Pendidikaan multicultural dikembangkan berdasarkan sudut pandang dan pengelaman siswa, bukan dari budaza yang sudah mapan.

Pendidikan multikultural menurut Kellner dalam Joebagio ( 2005: 356) dirancang untuk mendukung perkembangan keragaman murni dengan memodifikasi kurikulum bidang studi, baik melalui proses penyusunan, pengembangan, maupun pengayaan, yang kesemuanya itu untuk membantu peserta didik dalam memahami sejarah dan kebudayaan bangsa. Dengan demikian diharapkan melalui pendidikan multicultural peserta didik dapat mengenal kebudayaan di negaranya, terlebih-lebih seperti di Indonesia yang memiliki keragaman budaya.

Sebagai realita atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara eleven-elemen social yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan (Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timar Universitas Surabaya , 2003:10)

Implikasi pemanfaatan perspektif multicultural bagi guru adalah bahwa ia harus berusaha memahami dan memberikan pelayanan pendidikan lepada bermacam-macam kebutuhan siswa di dalam kelas, dan tidak boleh menyamaratakan begitu sakja secara umum, sehingga setiap peserta didik mendapat desempatan menhayati pengalaman sekolah dari hari ke hari dan memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan psikologisnya sesuai dengan bekal pemahaman kulturalnya menuju lepada kehidupan kolektif sebagai bangsa (Wiriaatmaja,2002 : 272)

Tujuan pendidikan multicultural menurut Moeis (2006:IM9) meliputi: (1) memperkuat kesadaran multicultural, tanpa kelilangan jatidiri; (2) meningkatkan kecakapan dalam interaksi lintas budaza; (3) menghilangkan stereotipe, stigma, rasa superioritas diri/kelompok, dan anggapan negatif lain dalam hubungan aantar kelompok; (4) memperkuat kesadaran berbangsa dan bernegaraadalam dalam konteks doinamika global; (5) menjunjung tinggi supremasi hukum; (6) meningkatkan kecakapan transformasi diri dan social, melalui tahap-tahap : (a) mengenali diri lingkungan dan sistem yang terkaitdengan pola berpikir tentang hubungan antar budaza; (b) mengenali bentuk-bentuk power dan control yang mempengaruhi pola berpikir tentang hubungan antarbudaya; (c) menilai pengaruh-pengaruh power dan control yang muncul dalam pikiran, sikap dan tindakan tentang hubungan anta etnik, menilai mana pengaruh tersebut yang berguna dalam interaksi antar etnik, mana ayang harus ditinggalkan; (d) mengambil tindakan transformatif (diri dan social ) berdasarkan penilaian yang tepat tentang pengetahuan, sikap dan perilaku yang sesuai dalam interaksi social anatar budaza.

Nasikun (dalam Joebagio, 2005 : 358) menjelaskan bahwa dalam perspektif pembelajaran “síntesis multicultural” memiliki rasional yang paling mendasar yang diidentifikasikan ke dalam tiga tujuan, yaitu (1) attitudinal, bahwa pendidikan multicultural memiliki fungís untuk menyemaikan dan mengembangkan sensitivitas cultura, toleransi cultural, penghormatan pada identitas cultural, pengembangan sikap budaza yang respossif, serta keahlian untuk melakukan penolakan konflik dan resolusi konflik; (2) kognitive, bahwa pendidikan multicultural memiliki tujuan bagi pencapaian kemampuan akademik, pengembangan pengetahauan tentang kemajemukan kebudayaan, kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku cultura;l, dan kemampuan untuk membangun kesadaran iritis tentang kebudayaannya sendiri; dan (3) instruksional, bahwa pendidikan multicultural memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan melakukan koreksi atas distorsi, stereotype, peniadaan, dan misinformasi tentang kelompok etnik dan cultural yang dimuat dalam berbagai buku dan media pembelajara; meneyediakan strategi untuk melakukan hidup di dalam pergaulan multicultural, menyediakan perangkat konseptual untuk melakukan komunikasi kultural, mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal, menyediakan teknik evaluasi, dan membantu menyediakan klarifikasi serta penjelasan tentang dinamikan perkembangan kebudayaan.

Pendidikan multicultural sangat tepat untuk membangun nasionalisme ke-Indonesia-an pada era global, karena pendidikan multicultural memiliki nilai inti (core value) dalam perspektif local maupun global yakni: (1) ketakwaan terhadap tuhan Yang Maha Esa; (2) tanggung jawab terhadap negara kesatuan; (3) penghargaan, pengakuan, dan penerimaan keragaman budaza; (4) menjunjung tinggi supremasi hukum; dan (5) penghargaan martabat manusia dan hak asasi yang universal (Moeis, 2006:IM-9).

Pendidikan multicultural ini, walaupun sangat tepat di terapkan di negara kita, Namur menurur Sparringa (2003:18) terdapat tantangan, yang meliputi : (1) bagaimanakah masalah kesadaran bersama itu dibangun dalam sebuah ruang yang di camping memberikan kebebasan untuk melakukan interpretasi yang serba ragam juga mengundanbg eleven-elemen yang berbeda itu untuk menemukan kebutiuhan bersama bagi sebuah integrasi di tingkat yang lebih tinggi; (2) proses ini tidak terjadi pada ruang yang terisolasi dari persoalan-persoalan ketidakmerataan, bahkan ketidakadilan, tentang bagaimana sumber-sumber politik dan ekonomi itu dialokasikan dan distribusikan dalam masyarakat nasional dan internacional; (3) perubahan yang berlangsung di tataran globalmendiktekan agenda-agenda politik dan ekonomi baru yang mempersempit desempatan kita untuk mendefinisikan kembali gagasan-gagasan dasar tentang negara (serba-) bangsa (the idea of Indonesian (multi-) nation state) tanpa mengindahkan gagasan-gagasan dan praktik-praktik materialisme–rasional yang dibawa serta oleh ekonomi pasar global.

Universitas punya tanggung jawab dan peran penting untuk memelihara dan usaha terus menerus mendidik mahasiswa dan masyarakat untuk mampu hidup bersama dalam keanekaragaman, tanpa masing masing identitas budayanya namun sekaligus juga mampu memberi jaminan hidup budaya orang lain (Priyatno, 2003:vi).Yang lebih penting bagaimana dalam praktek kehidupan perguruan tinggi memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk mengembangkan budaya mereka, dan juga adanaya upaya perguruan tinggi untuk menanamkan rasa saling menghormati dan menghargai budaya yang ada di wilayah nusantara ini.

Peran pergurun tinggi sangat strategis dan krusial. Fungsi perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan tidak saja terfokus hanya pda aspek ekonomi atau politik saja, tetapi tidak kalah pentingnya adalah peran sosio kulturalnya. Menurut Husin (2003:xvi) perguruan tinggi dituntut tanggung jawab untuk menjalankan peran sebagai agen integrasi social, yaitu menciptakan identitas budaya bersama. Mengarahkan secara bersama-sama individu-individu di kampus dari berbagai kelas social, etnik, budaya, kepercayaan, agama dan menghubungkannya ke dalam masyarakat yang lebih luas/global. Perguruan tinggi harus harus dapat menjadi perekat bangsa, apalagi dalam suasana ketidakpatian sekarang ini.

IV. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.Universitas punya tanggung jawab dan peran penting untuk memelihara dan usaha terus menerus mendidik mahasiswa adan masyarakat untuk mampu hidup bersama dalam keanekaragaman, tanpa masing masing identitas budayanya namun sekaligus juga mampu memberi jaminan hidup budaya orang lain, oleh karena itu pendidikan multikultural tepat untuk dipraktekkan pada tingkat perguruan tinggi, karena mahasiswa pada perguruan tinggi.

2.Pendidikan multikultural tepat untuk membangun nasionalisme Ke-Indonesia-an dalam menghadapi tantangan global, karena memiliki nilai inti (core value) dalam perspektif local maupun global yakni: (1) ketakwaan terhadap tuhan Yang Maha Esa; (2) tanggung jawab terhadap negara kesatuan; (3) penghargaan, pengakuan, dan penerimaan keragaman budaza; (4) menjunjung tinggi supremasi hukum; dan (5) penghargaan martabat manusia dan hak asasi yang universal.

3.Pendidikan multicultural mempunyai tujuan yang selaras dengan upaya membangun nasionalisme Ke-Indonesia-an dalam menghadapi tantangan global.
_________
*) Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Multikultural di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negari Syarif Hidayatulah Jakarta, Kamis, 05 Juni 2008

**) Guru Besar Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan Kopertis Wilayah VI Jateng dpk. Universitas Muhammadiyah Purwokerto

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Cipto, et al.,(2002). Pendidikan Kewarganegaraan(Civic Education) , Yogyakarta : LP3 UMY
Djalil, A. M.,(2003) Menemukan Kembali Kebangsaan Indonesia, dalam M.Bambang Pranowo dan Darmawan (Ed), Reorientasi Wawasan kebangsaan di Era Demoakrasi, Yogyakarta : AdicitaKarya Nusa

Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya, (2003). Hidup Berbangsa & Etika Multikultural, Surabaya: Yayasan Bhakti Persatuan.

Hassan, A. (1406 H). Tafsir Qur’an. Bangil : Persatuan Islam.
Hobsbawn, E.J.,(1992). Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Yogyakarta : Tiara
Husin, Z.,(2003). Etika Multikultural dan Tanggung Jawab Perguruan Tinggi Sebuah Catatan Pengantar, Surabaya : Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.

Kohn, H., (1984). Nasionalisme Arti dan Sejarahnya terjemahan Sumantri Mertodipuro, Jakarta : Erlangga.

Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), (1994). Kewiraan untuk Mahasiswa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Priyatno,A., (2003) ). Hidup Berbangsa & Etika Multikultural, Sambutan, Surabaya : Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.
Sparringa, D.T., (2003). Multikulturalisme dalam Multiperspektif di Indonesia, Surabaya : Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.
Ubaidillah,A. (2000). Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta Press.
Wiriaatmadja, R., (2002) Pendidikan Sejarah di Indonesia Perspektif Lokal, Nasional, dan Global, Bandung : Historia Utama Press.

B. Makalah
Moeis, I., (2006). Pendidikan Multikultural Transformatif dalam PIPS Sebuah Sarana Alternatif Menuju Masyarakat Madani, Makalah disamapaikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS 05 Agustus 2006, Bandung : Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia .

Santoso, Dj., (2008). Ketahanan Negara dan Wawasan kebangsaan Menghadapi Tantangan Global, Makalah disampaiakan pada Simposium Nasional Peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional, 19 Mei 2008, Yogyakarta : UGM,Pemda DIY, Kagama.

Suyanto, (2005). Profesionalisasi dan Sertifikasi Guru, Makalah dalam Seminar PGRI di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Desember 2005.
C. Jurnal
Bhakti, I.N. (1994). Aspek-aspek Internasional dalam Integrasi Nasional: Suatu Tinjauan Empiris atas Kasus Irian Jaya, dalam Analisis CSIC Tahun XXIII, No.5 September-Oktober 1994, 576- 584.
Karim, R. (1996). Nasionalisme Arti dan sejarahnya, Analisis CSIS, Tahun XXV Tahun 2, 95-108
Makarim, N.A. (2000). Karisma dan Krisis. Jakarta: Tempo XXIX: 130-131.
Joebagio, H., (2005). Merancang Sejarah yang Multikultural dalam Kurikulum 2004, Cakrawala Pendidikan Jurnal Ilmiah Pendidikan, November 2005Tahun XXIV, No.3, 374-366

Share this article :

0 komentar:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) - Kontak Person : 0812 2935 3524
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger