Home » , » Kemampuan Profesional Guru yang Sesuai Dengan Upaya Peningkatan Relevansi dan Mutu Pendidikan

Kemampuan Profesional Guru yang Sesuai Dengan Upaya Peningkatan Relevansi dan Mutu Pendidikan

Written By ISPI Banyumas on 19/06/13 | 6/19/2013

Oleh :  Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
Ketua Dewan Pembina ISPI Pusat

I. Pendahuluan
 Komisi Internasional UNESCO untuk pendidikan memasuki abad ke-21 menyatakan bahwa berbeda dengan periode sebelumnya, dalam memasuki abad ke-21 ini guru memiliki peranan yang sangat strategis karena diharapkan dapat ikut membentuk karakter dan kecerdasan generasi muda atau dalam bahasa aslinya “moulding character and minds of young generation”[1]

 Karena itu dalam menyoroti upaya perlindungan terhadap profesi guru, terlebih dahulu akan menganalisis masalah kemampuan profesional guru, dan upaya peningkatan mutu pendidikan nasional.

 Pada tahun 1982 dalam diskusi kependidikan Konsorsium Ilmu Pendidikan di Malang, saya menyajikan makalah dengan judul “Kemampuan Profesional Tenaga Kependidikan (Terutama Guru) dan Implikasinya dalam Penyusunan Kurikulum LPTK”. Tulisan itu didasarkan atas pengalaman ketidakberhasilan penulis, sebagai Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum Depdikbud (1974 – 1981), dalam menerapkan pendekatan Program Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) dalam rangka pelaksanaan kurikulum 1975, yang dalam analisis penulis berangkat dari terlalu tingginya harapan terhadap guru untuk melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan oleh tenaga profesional. Kini (dua puluh tiga tahun kemudian) kita masih dihadapkan kepada tuntutan agar guru kita dari Pra- Sekolah sampai SLTA memiliki kemampuan profesional agar mampu melaksanakan pendekatan baru dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang selanjutnya diterapkan dalam wujud KTSP. Baik penerapan pendekatan PPSI maupun KBK keduanya bertujuan agar pendidikan kita tambah relevan dan bermutu sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Karena itu memenuhi harapan panitia, penulis menyajikan makalah “Kemampuan Profesional Guru yang sesuai dengan Upaya Meningkatkan Relevansi dan Mutu Pendidikan Nasional”.

 Dalam menyoroti topik tersebut makalah ini secara berturut-turut akan membahas : (1) Guru sebagai Jabatan Profesional dan Mengapa Guru di abad ke-21 ini Harus Bertaraf Profesional ?; (2) Program Pengadaan Guru (Pendidik) dan Tenaga Kependidikan ; (3) Peran Guru dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar; (4) Jaminan kesejahteraan dan Perlindungan bagi Guru sebagai Pendidik Profesional.

II. Mengapa Guru di Abad ke-21 Harus Profesional ?
 Kalau kita menjejaki sejarah pendidikan Indonesia, kita akan mendapatkan pengetahuan bahwa kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, dan SLTA pada jaman penjajahan, dan jaman Indonesia merdeka sampai dengan tahun terakhir dekade 1950-an dan permulaan dekade 1960-an jauh dibawah kualifikasi guru pada saat ini. Pada jaman penjajahan Belanda pendidikan guru SD 3 yang lamanya 7 tahun) adalah HIK (6 tahun setelah HIS) dan untuk SMP (MULO) adalah HooftAkte (Kursus seperti PGSLP). Praktek ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Sampai dengan tahun 1957 pendidikan guru SD adalah Sekolah Guru B (SGB – 4 tahun setelah SD), guru SMP adalah SGA (6 tahun setelah SD atau 3 tahun setelah SMP/SGB kelas III), dan guru SLTA adalah B I (2 tahun setelah SMA). Setelah tahun 1957 guru SD haruslah lulusan SGA. Pada saat itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) belum menghasilkan lulusannya.
 Kini terutama sejak tahun 1989 kualifikasi minimum untuk mengisi jabatan guru ditingkatkan yaitu untuk guru SD adalah Diploma II Kependidikan (2 tahun pasca SLTA), untuk guru SLTP adalah D3 kependidikan (3 tahun pasca SLTA), dan untuk guru SLTA adalah S1 kependidikan dan S1 dengan Akta Mengajar (Akta IV). Pertanyaannya mengapa pada masa penjajahan dan permulaan kemerdekaan, guru dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah dari kualifikasi pendidikan guru pada saat ini dipandang telah berhasil menghasilkan lulusan yang “bermutu” sedangkan sekarang dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan.
 Memang tidak proporsional membandingkan mutu pendidikan pada tahun 1950-an dengan mutu pendidikan pada tahun 1989 keatas. Karena jumlah peserta didik pada dua periode tersebut perbedaannya berlipat. Murid SD pada tahun 1955 sebanyak 7.113.456 orang, tahun 1989/1990 19.296.714. Siswa SLTP pada tahun 1955 berjumlah 197.189 orang, pada tahun 1989/1990 jumlah siswa SLTP 13.672.438; siswa SLTA pada tahun 1955 berjumlah 103.267 orang, sedangkan pada tahun 1989/1990 berjumlah 4.338.386 orang. Disamping itu sekolah pada waktu itu pendidikan mengutamakan fungsi memilih dan memilah daripada mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Karena itu banyak SD yang hanya berhasil meluluskan murid kelas VI-nya sekitar 10 % demikian juga SLTP dan SMA. Sedangkan pada tahun 1980-an pada saat telah dicanangkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun dan dirancang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun fungsi sekolah seyogyanya tidak hanya menseleksi melainkan dan terutama adalah mengembangkan kemampuan peserta didik. Karena itu tidak dapat diterima kalau banyak murid SD dan SMP yang dinyatakan tidak lulus, karena sekolah harus menyediakan tempat bagi anak-anak baru yang jumlahnya berlipat dan harus ditampung. Disinilah letak masalahnya. Peranan guru pada saat melayani jumlah murid yang jumlahnya sedikit dan peranan sekolah yang terutama adalah memilah dan memilih, tidak dapat disamakan dengan peranan guru, pada saat tugasnya adalah mengembangkan potensi peserta didik yang heterogen latar belakangnya, baik kemampuan dasar, sosial, ekonomi, dan budaya. Dan kenyataan baru inilah yang menjadikan jabatan guru dituntut menjadi jabatan profesional.
 Dinegara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, yang menjadikan sekolah sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan mengarahkannya sesuai dengan kemampuan dasar, bakat dan minatnya telah lama menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional yang pendidikannya setara dengan pendidikan jabatan profesional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.

 Mengapa pendidikan yang menjadi massal “Education for All” diabad ke-21 diperlukan guru yang “profesional”? Untuk menjawab pertanyaan ini berikut akan dianalisis karakteristik pendidikan yang bersifat massal di era globalisasi.

 Diabad ke-21 ini tidak ada negara didunia ini yang tidak menerapkan wajib belajar, hanya satu negara berbeda dari negara lainnya berbeda dalam penetapan lamanya wajib belajar. Ada negara yang menerapkan wajib belajar 12 tahun; seperti Amerika Serikat, ada negara yang menerapkan wajib belajar 10 tahun seperti Inggris dan Jerman, dan ada negara yang menarapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun seperti Indonesia, disamping masih ada negara negara di Afrika dan Asia Selatan yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun.

 Penerapan wajib belajar ini yang berarti bahwa semua anak dengan perbedaan latar belakang baik kemampuan dasar kognitif, latar belakang sosial ekonomi dan minat serta bakat harus memperoleh pendidikan yang bermutu dan dilayani serta dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya.

 Dalam pada itu diera globalisasi ini ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat. Dalam kondisi yang demikian tuntutan terhadap kualitas manusia terdidik baik kemampuan intelektual, kemampuan vokasional dan rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kemanusiaan dan kebangsaan juga meningkat sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah dan meningkat tuntutannya kepada para warganya.

 Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi (intelektual, kultural, dan ekonomi), terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sumber obyek belajar, terus berubahnya masyarakat dengan tuntutannya merupakan faktor yang menjadikan guru harus profesional. Karena itu peranan guru tidak lagi hanya memberikan pelajaran dengan ceramah atau mendikte tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat dan minat peserta didik. Guru juga tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan jaman. Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk dapat menjawab pertanyaan yang siftanya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu mampu merancang, memilih bahan pelajaran dan strategi pembelajaran (dalam bahasa KBK dan KTSP Sylabus) yang sesuai dengan anak dengan latar belakang yang berbeda, serta mengelola proses pembelajaran secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih media belajar dan merancang program evaluasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi.

 Untuk itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan pendidikan guru yang berderajat profesional. Dikatakan berderajat karena dalam setiap jabatan profesional dikenal hierarki profesional yaitu : profesional, semi profesional, teknisi, juru, dan tukang. Kalau dalam dunia kedokteran kita mengenal : tenaga dokter (profesional), para medik, yang lulusan Akademi sebagai semi profesional, yang lulusan SLTA sebagai teknisi (perawat) dan juru rawat. Di Amerika Serikat, guru, baik guru SD, guru SMP maupun SMA harus berpendidikan S1 ditambah satu sampai dua tahun kuliah dan latihan keguruan untuk mendapat sertifikat guru. Di Jerman, untuk guru SD, harus berpendidikan “PAEDAGOGISCHE HOCHSCHULE”-- 4 tahun setelah SMA, untuk guru (Gymnasium) dituntut pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan pada Universitas yang meliputi 6 semester untuk penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan ajar dan 2 semester paedagogik. Kesemuanya baik guru SD, SMP maupun SMA setelah lulus pendidikan di Perguruan Tinggi/Universitas tidak otomatis berwenang sebagai guru (certified teacher) melainkan harus melalui tahap magang selama 18 bulan dan diakhiri dengan ujian kewenangan mengajar sebelum dapat memperoleh tanda sebagai guru yang berwenang.
Terilhami oleh praktek pendidikan calon guru didua negara tersebut, dan pengalaman menerapkan berbagai inovasi pendidikan dalam periode 1974 – 1981, penulis pada tahun 1982 sampai kepada kesimpulan perlunya peningkatan jabatan guru sebagai jabatan profesional, suatu jabatan yang memerlukan pendidikan lanjut dan latihan khusus, yaitu S1 plus sebagai yang saya tulis dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1989.

 Penerapan KBK hakekatnya sama dengan penerapan kurikulum berorientasi tujuan yang diterapkan melalui kurikulum 1975, yang menuntut guru menyusun Satuan Pelajaran. Dalam pelaksanaan KBK guru dituntut menyusun Sylabus. Untuk dapat melakukan tugas tersebut dituntut kemampuan yang didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumber belajar dan sebagai “ways of learning”, mengenal peserta didik dengan karakteristiknya (kemampuan dasar, minat, bakat, dan pola belajarnya), memahami kompetensi yang harus dikuasai peserta didik pada akhir jenjang pendidikan, pada akhir semester, dan pada akhir setiap penggalan belajar, karena tanpa menguasai berbagai pengetahuan dasar tentang ilmu pengetahuan, tentang peserta didik, tentang masyarakat dan budaya tempat sekolah beroperasi, teori belajar, berbagai model belajar, dan berbagai model evaluasi, sukar diharapkan guru akan dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan baru penyelenggaraan pendidikan nasional yang terus berubah, seperti penerapan KBK. Di dunia kedokteran, sebagai salah satu bidang profesi yang telah lama mapan, para dokter tidak mengenal penataran hanya karena adanya cara baru dalam pengobatan. Tidak lain karena sebagai tenaga profesional mereka telah benar-benar siap dengan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk terus mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan tuntutan dunia profesi kedokteran yang terus berubah.

 Dibandingkan dengan dunia kedokteran, dunia keguruan, terutama di Indonesia masih jauh tertinggal. Karena itu tepat sekali kalau berbagai pihak melakukan “upaya meningkatkan profesionalisme guru untuk memenuhi tuntutan kurikulum berbasis kompetensi”. Karena bagaimanapun juga pelaksanaan KBK menuntut guru yang profesional, sedang tingkat kemampuan profesional guru kita masih beragam. Karena itu lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan langkah yang sangat strategis.

III. Program Pengadaan Guru (Pendidik) dan Tenaga KependidikanDalam bagian terdahulu secara jelas kita memperoleh pengetahuan bahwa guru sebagai jabatan profesional, untuk guru yang memiliki kemampuan profesional penuh perlu memperoleh pendidikan S1 plus atau dalam tulisan saya yang diterbitkan tahun 1989 perlu berpendidikan S2, tetapi bukan S2 akademik seperti yang sekarang kita kenal tetapi S2 profesional yang mengutamakan kemampuan mengembangkan, melaksanakan, menilai, mengorganisir, dan memperbaharui program belajar mengajar atau dalam bahasa UU No. 14 Tahun 2005 S1+ dan D4+. Guru dengan tingkat kemampuan profesional yang demikian akan selalu mampu mengembangkan dirinya untuk memenuhi tuntutan baru pembaharuan pendidikan seperti penerapan KBK. Tetapi kenyataan yang kita hadapi bukanlah demikian sebelum lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen : kualifikasi guru SD kita secara resmi yang tertinggi berpendidikan D II, walaupun ada yang S1 dan S2, tetapi S1 dan S2-nya kebanyakan akademik bukan profesional disamping masih ada yang belum berpendidikan D II; guru SLTP kita secara resmi disyaratkan D III, walaupun ada yang belum mencapai itu dan ada yang sudah berpendidikan S1, S2, bahkan mengikuti program S3. Tetapi umumnya tidak selalu relevan dengan tugas profesionalnya sebagai guru. Demikian juga dengan guru SLTA secara resmi kualifikasi guru SLTA adalah S1, tetapi masih ada yang belum S1, disamping ada yang telah memiliki gelar S2, bahkan mungkin ada yang sedang mengikuti program Doktor (terutama dikota-kota besar), walaupun umumnya pendidikan lanjutannya tidak selalu terkait dengan tugas profesionalnya sebagai guru. Misalnya guru kimia SMA, seharusnya memiliki S1 pendidikan kimia, dan S2 pendidikan Kimia, tetapi banyak yang S2-nya bukan pendidikan kimia atau S2 ilmu kimia.

Berangkat dari heterogennya kualifikasi pendidikan dan kemampuan profesional guru dalam upaya meningkatkan kemampuan profesional guru, yaitu : (1) merancang program pembelajaran termasuk menyusun sylabus, (2) melaksanakan, memimpin, mengelola, dan menilai program pembelajaran; (3) mendiagnosis masalah dan hambatan yang dihadapi oleh peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran dan menguasai kompetensi yang ditetapkan ; dan (4) menyusun dan merancang berbagai pilihan yang harus dikembangkan untuk membantu mereka, tidaklah mudah. Kiranya perlu diketahui bahwa keempat gugus kemampuan profesional penguasaannya perlu ditunjang oleh pernguasaan berbagai pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan : (1) karakteristik peserta didik; (2) ilmu pengetahun sebagai obyek belajar dan “ways of learning” atau “mode of inquiry”; (3) hakekat tujuan pendidikan dan kompetensi yang harus dicapai dan dikuasai peserta didik; (4) teori belajar umum dan khusus; (5) model-model pembelajaran sesuai dengan bidang studi; (6) teknologi pendidikan; dan (7) sistem dan teknik evaluasi. Ketujuh gugus pengetahuan ini dalam bahasa UU No. 14 Tahun 2005 dikategorikan dalam gugus : (1) kompetensi paedagogik; (2) kompetensi kepribadian; (3) kompetensi sosial; dan (4) kompetensi profesional.

 Tujuh gugus pengetahuan dan teknologi tersebut ditambah dengan pengetahuan dan pemahaman tentang filsafat pendidikan, dasar negara Pancasila, UUD Negara RI 1945, sejarah nasional bangsa dan sistem pendidikan nasional, merupakan pengetahuan yang seharusnya dimiliki guru Indonesia yang berderajat profesional. Dengan guru yang pengetahuan dan kemampuan profesionalnya demikian, pembaharuan pendidikan apapun yang dilakukan seperti KBK, tidak akan dipandang sebagai masalah. Karena guru dengan derajat profesional yang demikian akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas.

 Atas dasar pemahaman saya tentang pengetahuan dan kemampuan profesional guru yang demikianlah yang menjadikan penulis mengusulkan kurikulum bagi pendidikan prajabatan guru seperti yang tertulis dalam makalah yang telah saya sebut pada pembukaan tulisan ini.
 Masalah yang harus dibahas selanjutnya adalah bagaimana kita merancang program pendidikan yang dapat menghasilkan pendidik (guru) dan tenaga kependidikan yang profesional ?
 Sebelum memasuki jawaban atas pertanyaan “Bagaimana kita merancang program pendidikan yang dapat menghasilkan guru (pendidik) dan tenaga kependidikan yang profesional ?”, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan pandangan saya bahwa tenaga kependidikan, baik tenaga konselor, administrasi pendidikan, teknologi pendidikan, ahli kurikulum, dan tenaga kependidikan lainnya seyogyanya berbasis guru profesional. Karena yang akan dikelola, yang akan dibimbing adalah peserta didik dalam situasi kependidikan yang memerlukan pengetahuan dasar dan pengetahun serta kemampuan profesional seorang guru. Inilah pendirian profesional penulis yang telah penulis ajukan sejak tahun 1982 yang lalu, yang perlu kita bahas secara profesional pula.

 Dalam merancang program pengadaan guru dan tenaga kependidikan lainnya yang profesional yang perlu menguasai delapan gugus pengetahuan dasar akademik profesional dan lima kemampuan profesional, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
 (1) bagaimana memilih calon mahasiswa untuk menjadi guru dan tenaga kependidikan lainnya yang profesional ?
 (2) bagaimana kurikulum kita rancang dan laksanakan yang relevan ?
 (3) siapa yang dapat menjadi dosen dan apa peranan dosen ?
 (4) model pembelajaran manakah yang relavan ?
 (5) sistem evaluasi yang bagaimana yang perlu diterapkan ?
 (6) praktek profesional yang bagaimanakah yang perlu dialami oleh calon guru ?
 (7) fasilitas kependidikan seperti apa yang perlu disediakan ?

 Selanjutnya akan dicoba satu persatu dianalisis ketujuh pertanyaan/masalah yang telah diidentifikasikan.
1. Bagaimanakah Kita Memilih Calon Mahasiswa yang Secara Potensial dapat Disiapkan untuk Menjadi Guru sebagai Jabatan Profesional

 Sebagai pelajar pendidikan saya tidak pernah terkejut mebaca laporan studi tentang tingkat penguasaan guru, baik SD, SMP, maupun SLTA yang sangat rendah terhadap materi pelajaran yang harus dijadikan obyek belajar peserta didik. Tidak lain karena pendidikan pra jabatan guru akhir-akhir ini sangat sukar untuk memperoleh calon mahasiswa dari lulusan SMA yang terbaik. Pada umumnya mereka yang masuk LPTK adalah mereka yang tidak dapat masuk Fakultas Kedokteran, Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, bahkan Fakultas yang lain. Padahal pada akhir tahun 1950-an dan permulaan tahun 1960-an di Amerika Serikat oleh J.B. Conant diusulkan bahwa yang dapat diterima menjadi calon guru adalah mereka yang tergolong kelompok 20 % teratas lulusan “High School”, yaitu mereka yang selama High School mengambil Kalkulus, Trigonometri, Fisika, dan Bahasa Asing. Di Jerman hanya mereka yang telah melalui Gymnasium (pendidikan 13 tahun) yang dapat memasuki PAEDAGOGISCHE HOCHSCHULE (calon guru SD dan HAUPTH SCHULE) dan Fakultas Paedagogik (untuk guru Gymnasium). Ini berarti bahwa calon guru adalah mereka yang termasuk kelompok 20 % teratas dari kelompok umurnya.

 Kualitas para calon mahasiswa untuk pendidikan prajabatan guru yang selama ini; disatu pihak hampir tidak dapat memilih lulusan SMA yang terbaik, dan dilain pihak proses pembelajarannya yaitu 4 (empat) semester untuk D II, 6 (enam) semester untuk D III, dan 8 (delapan) semester untuk S1, tidak ada bedanya dengan program untuk lulusan SMA yang terbaik, tanpa program matrikulasi bagi mereka yang penguasaan pelajaran SMA-nya pas-pasan. Diantara mereka sedikit yang tidak lulus. Hal ini menjadikan saya tidak heran bahwa penguasaan guru pada umumnya terhadap materi ajar rendah. Akibatnya sangat parah, mutu pendidikan makin menurun. Dan ini kurang disadari pengaruhnya pada pembangunan negara bangsa. Padahal negara semaju Amerika Serikat dalam menghadapi persaingan global tidak pernah melupakan pentingnya pendidikan.

 Untuk itu beberapa pernyataan Gubernur beberapa negara bagian di Amerika Serikat akan dikutipkan berikut ini :
 1) “As a nation, and as a state, we are engaged in protracted economic war of attrition that will not be won with bombers but with blackboard – A war that will not be won or lost in the battlefield but in the classroom” (Gov. Richard D Lamm, Colorado)
 2) “Education is the fuel that drives the engine of economic growth and job creation in America’s modern society” (Gov. Rudy Perpich, Minnesota)
 3) “If the state is going to be serious about industrial recruitment, legislatures and citizens must become serious about improving the quality of our educational system” (Gov. Toney Anaya, New Mexico)
 4) “I believe that in a global economy, Ohio’s ability to overtake our competition is directly linked to the level of our investment in education”
 “… Excellent schooling requires excellent teachers and principals. Excellent people have self-confidence and self-esteem and expect reasonable otonomy. Therefore, if we want excellent schools, we must give more power to the teachers and principals”

 Kelima kutipan ini diambil dari A NATION PREPARED : Teachers for the 21st Century* . Dalam laporan ini untuk menghadapi abad ke 21, memasuki pendidikan guru disyaratkan telah memiliki “Bachelor Degree in the Arts and Sciences”. Sesungguhnya persyaratan ini sudah ditempuh Negara Bagian California pada tahun 1960 – an .

 Atas dasar pertimbangan profesional tentang guru sebagai jabatan profesional yaitu jabatan yang memerlukan “advance education and special training”, agar upaya melahirkan guru yang berderajat profesional dan tenaga kependidikan yang profesional dapat terwujud kita perlu menentukan persyaratan akademik bagi calon mahasiswa LPTK yaitu mereka yang di SMA-nya mengambil Matematika dengan nilai UN 6, dalam skala 1 – 10.
 Untuk itu Pemerintah harus kembali memberikan insentif bagi calon guru dan guru, yaitu memberikan ikatan dinas dan asrama bagi calon guru dan jaminan kesejahteraan bagi guru sejajar dengan profesi lainnya.

 2. Kurikulum untuk Pendidikan PraJabatan Guru yang Berderajat Profesional
 Merancang dan mengembangkan kurikulum hakekatnya adalah upaya untuk menjawab pertanyaan, “pengalaman belajar dan materi pembelajaran apakah yang harus diikuti dan ditempuh peserta didik, dalam hal ini mahasiswa calon guru, agar setelah mengikuti program pendidikan yang disediakan, dapat dikuasai serangkaian
 pengetahuan dasar dan kemampuan profesional ? Ini berarti bahwa untuk pendidikan calon guru perlu dirancang dua tahap program pendidikan yaitu : (1) tahap pendidikan akademik profesional; dan (2) tahap pendidikan dan latihan profesional.

 Pada tahap pertama, yaitu tahap pendidikan akademik profesional para mahasiswa calon guru mengikuti pendidikan untuk menguasai : (1) pengetahuan dan pemahaman tentang karakteristik peserta didik, baik kognitif, emosional, fisik, dan sosial sesuai dengan tingkat perkembangannya yang terkait dengan jenjang pendidikan; (2) pengetahuan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sebagai sumber obyek belajar dan sebagai “ways of knowing”; (3) filsafat pendidikan dan teori pendidikan, yang meliputi tujuan pendidikan nasional dan peranan setiap kegiatan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan; (4) berbagai teori belajar baik umum, termasuk “social learning theory”, dan khusus yang terkait dengan suatu bidang studi dan/atau dengan karakteristik peserta didik; (5) berbagai model pembelajaran yang terkait dengan berbagai bidang studi; (6) teknologi pendidikan; (7) sistem dan teknik evaluasi; dan (8) sejarah dan sistem kenegaraan NKRI sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Tahap ini dapat ditempuh dalam periode 6 (enam) semester.

 Tahap kedua adalah tahap pendidikan dan praktek profesional. Pada tahap ini selama dua semester para mahasiswa belajar menerapkan berbagai pengetahuan dasar akademik profesional yang diperoleh selama enam semester pertama untuk : (1) merencanakan program pembelajaran; (2) melaksanakan program pembelajaran, termasuk mengevaluasi; (3) mendiagnosa berbagai hambatan dan masalah yang dihadapi peserta didik; (4) menyempurnakan program pembelajaran berdasarkan umpan balik yang telah dikumpulkan secara sistematik.

 Dalam tahap kedua ini calon mahasiswa dua pertiga waktunya berada dalam lingkungan sekolah untuk mengamati, memimpin, dan membimbing proses pembelajaran dibawah supervisi tim dosen profesional.

 Setelah melalui program pendidikan yang demikian seorang mahasiswa yang lulus setelah melalui berbagai evaluasi yang komprehensif dan terus menerus dapat memperoleh “sertifikat” sebagai pengajar.

 Mereka yang telah lulus program pendidikan guru profesional inilah yang selanjutnya dapat mengikuti pendidikan pasca sarjana untuk menjadi tenaga kependidikan seperti : bimbingan dan konseling, ahli kurikulum, ahli administrasi pendidikan dan ahli teknologi pendidikan. Dengan demikian tenaga kependidikan yang profesional, dalam pandangan saya, hendaknya adalah mereka yang telah mengikuti pendidikan guru profesional dan/atau telah juga berpengalaman sebagai guru profesional, sehingga dapat berperanan memberikan bantuan profesional kepada guru untuk terus memperbaiki mutu pendidikan.

 Dengan kata lain, sebagai pelajar pendidikan penulis berpendapat bahwa tenaga kependidikan yang profesional adalah mereka yang telah memiliki kualifikasi sebagai guru profesional dan melanjutkan studi pasca sarjana atau spesialisasi dibidang-bidang yang telah disebut diatas. Ini sejajar dengan dunia profesi lainnya seperti dokter.

 3. Siapa yang Berhak Menjadi Pengajar dan Apa Peranan Pengajar ?
 Kalau untuk menjadi guru, baik SD, SMP, maupun SLTA yang sampai sekarang ditetapkan berkualifikasi minimum D II untuk SD, D III untuk SLTP, dan S1 untuk SLTA, dan dalam pemikiran ini semuanya harus berderajat profesional yaitu minimum S1 (sekarang sudah merupakan ketentuan dalam UU No, 14 Tahun 2005), sudah sepantasnyalah kalau untuk menjadi pengajar calon guru profesional adalah minimum S2 dengan judisium minimal BAIK atau IPK B+. Dibandingkan dengan persyaratan tenaga pengajar, terutama pada jalur profesorship (Assistant Profesor, Associate Profesor, dan Profesor) di Amerika Serikat yaitu Ph. D. dengan judisium minimum sangat memuaskan dan mengalami masa percobaan selama dua tahun, persyaratan minimum S2 dengan IPK minimum B+, kiranya tuntutan minimum S2 bagi dosen merupakan, seperti yang telah ditetapkan dalam UU No. 14 Tahun 2005, suatu kebijaksanaan yang perlu segera direalisasikan.

 Karena gugus mata kuliah pengetahuan dasar akademik profesional meliputi : (1) ilmu pengetahuan sebagai sumber obyek belajar dan ways of knowing; (2) filsafat dan teori pendidikan termasuk filsafat dan teori kurikulum; (3) karakteristik peserta didik; (4) teknologi pendidikan; (5) teori belajar dan model pembelajaran; (6) sistem evaluasi dan teknik evaluasi; dan (7) sejarah dan sistem sosial budaya Negara Bangsa Indonesia; program pendidikan guru profesional memerlukan para pengajar yang sekaligus berkualifikasi peneliti dari bidang ilmu pengetahuan : (1) ilmu-ilmu dasar science, mathematics, engineering science, social sciences/sociology, economy, politics, anthropology, dan bahasa, baik sebagai ilmu murni maupun ilmu kependidikan bidang-bidang ilmu tersebut; (2) ilmu pendidikan, yang meliputi filsafat pendidikan, teori kurikulum, teknologi pendidikan, sistem dan teknik evaluasi; dan (3) psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan, termasuk didalamnya ahli teori belajar; memerlukan tenaga pengajar dengan kualifikasi yang memadai.

 Peranan para dosen dari setiap bidang ilmu pengetahuan tersebut adalah membimbing dan mendorong para mahasiswa untuk menguasai dan memahami setiap mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya melalui proses pembelajaran yang menerapkan empat pilar belajar yaitu : (1) learning to know;( 2)learning to do; (3) learning to live together; dan (4) learning to be, yang didukung dengan sistem evaluasi sebagai bagian dari proses pendidikan yang dilakukan secara terus menerus, komprehensif, dan obyektif sesuai dengan hakekat ilmu pengetahuan yang dipelajari dan pendekatan empat pilar belajar yang ditempuh.

 Sedangkan para pengajar pada tahapan kedua yaitu pendidikan dan praktek profesional diperlukan dosen yang tidak hanya menguasai bidang ilmu yang menjadi tanggung jawabnya melainkan juga mempunyai kepiawaian dalam mengelola proses pembelajaran. Untuk itu tenaga yang berpengalaman dalam proses pembelajaran diperlukan. Dalam kaitan ini diangkatnya para guru senior yang berpengalaman mengajar menjadi staf pengajar pada tahapan ini sangat diperlukan.

 4. Model Pembelajaran yang Perlu Diterapkan
 Untuk tahap pendidikan untuk menguasai pengetahuan dasar akademik profesional pendekatan belajarnya seperti telah disinggung adalah pendekatan empat pilar belajar yaitu “learning to know”, “learning to do”, “learning to live together”, dan “learning to be”. Melalui pendekatan ini diharapkan para mahasiswa calon guru akan dapat menguasai ilmu pengetahuan sebagai ways of knowing (mode of inquiry) dan penerapannya sehingga dapat diharapkan tumbuhnya minat yang makin mendalam tentang ilmu pengetahuan tersebut dan selanjutnya dapat menimbulkan rasa percaya diri.

 Sedangkan untuk tahap kedua pendidikan dan praktek profesional, pendekatan proyek perlu ditempuh, yaitu suatu pendekatan yang menuntut seorang calon guru melakukan kegiatan dari merencanakan dan mengembangkan, melaksanakan, menilai, sampai dengan memperbaiki suatu program pembelajaran dalam suatu bidang mata pelajaran, untuk sesuatu kelompok peserta didik pada jenjang pendidikan tertentu dalam jangka waktu belajar yang jelas.

 5. Sistem Evaluasi yang Perlu Diterapkan
 Dengan diterapkannya model pembelajaran yang menggunakan pendekatan empat pilar belajar, evaluasi yang diterapkan perlu relevan dengan digunakannya empat pilar belajar tersebut. Dengan demikian para calon guru tidak hanya dinilai pemahamannya tentang konsep melainkan dinilai juga : (1) kemampuannya menerapkan “mode of inquiry” suatu disiplin ilmu pengetahuan, seperti melakukan observasi, eksperimen, dan lainnya untuk “learning to know”; (2) kemampuan menerapkan prinsip atau hukum dari suatu bidang ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah untuk “learning to do”; dan (3) kemampuannya untuk bekerjasama dalam bidang ilmu yang sedang dipelajari, untuk “learning to live together”.
 Sedangkan penilaian dalam tahap kedua benar-benar menilai kinerja seorang calon guru profesional yang meliputi : (1) kemampuan merencanakan dan mengembangkan program pembelajaran; (2) kemampuan mengelola proses pembelajaran; (3) mengembangkan program evaluasi dan melaksanakannya; (4) menganalisis kekuatan, kelemahan, dan masalah dari program yang telah dirancang dan dilaksanakan; dan (5) meyempurnakan program pembelajaran berdasarkan masukan.

 6. Tentang praktek profesional
 Hakekatnya telah diulas pada saat membahas model pembelajaran. Yang penting bahwa pada tahap ini calon guru profesional harus sudah benar-benar berada dalam situasi nyata dari proses pembelajaran di kelas dan sekolah dimana setelah lulus mereka akan ditugaskan.

 7.Fasilitas Pendidikan
 Yang jelas agar segala model pembelajaran dapat dilaksanakan, berbagai sarana dan prasarana harus tersedia; baik perpustakaan, laboratorium, kebun botani, lapangan olahraga, dan sekolah tempat praktek profesional. Akan lebih ideal lagi kalau mahasiswa calon guru profesional memperoleh fasilitas asrama sebagai bagian integral dari fasilitas pendidikan guru.

IV. Peranan Guru Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan DasarKeberhasilan suatu bangsa dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya akan tergantung kepada keberhasilan kita dalam menyelenggarakan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.

 Berbagai studi menyimpulkan bahwa kualitas perkembangan anak dari usia 1 – 8 tahun (usia dini) akan menentukan keberhasilan anak-anak dalam mengikuti pendidikan dasar, pendidikan menengah dan produktifitas kerjanya di masa depan. Kesimpulan salah satu studi menyimpulkan sebagai berikut :
 “Thirty years of research have shown that such progams* can improve primary and even secondary school performance, increase children’s prospect for higher productivity and future income, and reduce the probability that will become burdens on public health and social budget[2]
 Karena itu pula usul Dirjen Diklusepora pada tahun 1997, waktu itu kebetulan dijabat penulis, untuk merintis program pendidikan anak usia dini di tiga tempat : Pandeglang, Denpasar, dan Makassar diterima. Dan kini, program itu telah melembaga walaupun pelaksanaannya belum merata, baik akses maupun mutunya.

 Di negara maju lebih dari 80 % anak usia dini mengikuti program pendidikan anak usia dini (Nursery School, Playgroup, dan Kindergarden = TK). Sedangkan di Indonesia angka partisipasi belum melampaui 20 % (untuk TK) dan dibawah itu untuk penitipan anak dan kelompok bermain. Karena itu bila kita akan meningkatkan mutu jangan lupa pemerataannya. Dalam kaitan dengan mutu kiranya perlu diutamakan disini bahwa kebutuhan perkembangan anak usia dini yang meliputi : (1) kesehatan; (2) makanan yang bergizi (mineral, protein, Micro Nutrien); (3) rangsangan intelektual; (4) perkembangan emosi; dan (5) perkembangan sosial (termasuk belajar bekerjasama)

 Berangkat dari hakekat perkembangan anak usia dini yang titik beratnya pada perkembangan intelektual, emosional, dan sosial yang keberhasilannya tergantung dari mutu gizi, dan suasana lingkungan yang memungkinkan terjadinya rangsangan intelektual, emosional, dan sosial, peranan guru dalam tahapan pendidikan anak usia dini dan kemampuan yang harus dimiliki memerlukan pendidikan pra-jabatan yang berbeda dari guru SD, apalagi guru SMA. Modal utama bagi guru pada tingkatan ini adalah adanya rasa menyayangi dalam pengertian : peduli, menghargai, dan bertanggung jawab. Dengan modal ini guru yang secara profesional telah memenuhi syarat akan secara optimal melaksanakan peranannya. Bagi guru yang belum memenuhi persyaratan profesional dengan bermodalkan rasa tanggung jawab, peduli, menghargai anak dalam asuhannya akan berusaha untuk terus belajar memahami kebutuhan perkembangan anak menuju kematangannya memasuki sekolah baik secara intelektual, emosional, dan sosial.

 Berbeda dengan guru untuk anak usia dini, untuk tingkat pendidikan dasar, SD dan SMP, disamping tetap dituntut menyayangi anak juga dituntut untuk memahami obyek belajar sebagai “Realms of Meaning” dan berbagai model pembelajaran, berbagai bentuk evaluasi, agar dapat merancang dan mengelola proses pembelajaran yang benar-benar dapat bermakna sebagai proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap. Dengan guru yang mampu merancang dan mengelola proses pembelajaran serta menyusun dan melaksanakan program evaluasi sehingga dapat menciptakan suasana pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003, peranan pendidikan dasar untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak generasi muda dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa akan dapat terwujud.

 Mungkin tidak banyak yang menyadari mengapa semua negara moderen yang demokratis mewajibkan setiap warga negaranya mengikuti pendidikan dasar dan penyelenggaraannya sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah, seperti tuntutan pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Latar belakangnya adalah karena negara demokrasi adalah negara yang kebijaksanaan pemerintahannya didasarkan atas persetujuan yang diperintah. Karena itu supaya setiap warga negara mampu ikut dalam proses politik demokrasi secara cerdas perlu memperoleh pendidikan dasar. Dalam kaitan ini pendidikan dasar yang bermutu, indikatornya bukan hanya lulus UN, melainkan memiliki : (1) kompetensi sebagai warga negara dari NKRI yang demokratis; (2) kompetensi untuk memasuki dunia kerja; (3) kompetensi sosial budaya; (4) kompetensi intelektual untuk belajar terus (melanjutkan pelajaran); dan (5) kompetensi moral.
 Untuk itu semua SD dan SMP harus benar-benar menjadi pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai, dan sikap, sehingga generasi muda benar-benar mampu menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, cerdas, terampil, bertanggung jawab, bermoral, berwatak, dan mampu belajar sepanjang hayat. Agar fungsi sekolah sebagai pusat pembudayaan dapat terlaksana secara efektif diperlukan sekolah yang memenuhi standar yang ditetapkan dalam PP No. 19 tahun 2005. Itu berarti disamping memiliki guru profesional, juga memiliki perpustakaan, ruang kerja guru, laboratorium, kebun botani, lapangan olah raga, ruang kesenian, dan lainnya yang ditetapkan dalam PP No. 19 Tahun 2005. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jaminan kesejahteraan bagi guru agar dapat melaksanakan fungsi profesionalnya secara efektif? Bagian berikut akan mencoba menganalisisnya.

V. Jaminan Kesejahteraan dan Perlindungan Bagi Guru Sebagai Pendidik ProfesionalDari serangkaian ulasan dari bagian Pendahuluan sampai bagian IV, jelas betapa berat, kemampuan yang dituntut dan tugas yang dilakukan seorang guru sebagai pemegang jabatan professional. Mengapa kemampuan, persyaratan pendidikan dan tugas yang harus dilakukan demikian berat? Bagian terdahulu telah mencoba menganalisisnya. Dan adalah pandangan penulis bahwa hanya guru yang demikian, yang dapat merancang, menganalisis, dan menilai proses pembelajaran yang bermakna proses pembudayaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu bagi penulis terbitnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah suatu UU yang dalam sejarah pendidikan Indonesia sangat bermakna dan revolusioner. Namun berbagai ketentuan tentang guru sebagai jabatan professional itu akan kurang bermakna kalau guru hanya memandangnya sebagai suatu beban semata. Adalah pandangan penulis bahwa tanggung jawab professional guru sebagai pendidik seperti yang digariskan dalam UU No. 14 Tahun 2005 akan dipandang sebagai tantangan professional yang menyenangkan bila diberi dukungan yang memadai, baik dalam hal sarana dan prasarana, dan kesejahteraannya. Untuk ketersediaan sarana dan prasarana PP No. 19 Tahun 2005 telah menetapkan standardnya. Sedangkan tentang kesejahteraan UU No. 20 Tahun 2003 telah mengaturnya dalam pasal 14 dan pasal 15 yang untuk jelasnya dapat dibaca dalam kutipan berikut :
 Pasal 14 ayat (1)
 “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak :
 a. Memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup dan kesejahteraan social
 Pasal 15 ayat (1)
 “Penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan
lain berupa tunjangan professi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atau dasar prestasi”
 Sedangkan tentang tunjangan professional pasal 16 ayat (2) menggariskan dalam kalimat berikut :
 Pasal 16 ayat (2) :
 “Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (pasal 16), diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama”

 Tentang siapa yang berhal mendapat tunjangan profesi pasal 16 ayat (1) menjelaskan dalam kalimat berikut :
 Pasal 16 ayat (1) :
 “Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagai dimaksud dalam pasal 15 ayat (1), kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat”

 Dengan berbagai penghasilan yang dijanjikan, seperti yang digariskan dalam UU No. 14 tahun 2005 tersebut, dalam kondisi ekonomi yang stabil (inflasi) diharapkan guru akan sepenuhnya mencurahkan tenaga dan kemampuannya untuk membantu peserta didik berkembang sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakatnya (pasal 12 ayat 1 (b)) sehingga tujuan pendidikan seperti yang digariskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 yaitu lahirnya manusia yang :
 “beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
 Adalah pandangan penulis bahwa dikuasainya sembilan karakteristik sebagai digariskan dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 adalah indicator dari pendidikan yang bermutu, dan bukan diukur melalui hasil Ujian Nasional semata.

 Pertanyaannya adalah apakah dengan jaminan penghasilan semata, dalam kondisi ekonomi diabad ke – 21 yang tidak stabil ini, cukup untuk menjadikan guru dapat sepenuhnya mengabdikan dirinya sebagai pendidik professional sebagai diulas terdahulu? Penulis memandang bahwa jaminan kesejahteraan social sebagai yang dijanjikan dalam pasal 14 ayat (1) perlu diperjelas.

 Dalam hubungan dengan ini penulis belajar dari pembaharuan pendidikan China sejak tahun 1993 yang menetapkan “pemberian perumahan bagi guru merupakan bagian reformasi pendidikan* Nampaknya jaminan kesejahteraan social yang tertulis dalam UU No. 14 Tahun 2005 harus dimaknai:
 1. Pemberian perumahan;
 2. Asuransi kesehatan; dan
 3. Tabungan masa depan.

 Setelah diulas jaminan kesejahteraan yang diperlukan bagi guru, seperti yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005, agar dapat sepenuhnya, dengan penuh pengabdian, melaksanakan tanggung jawab profesionalnya dalam mewujudkan upaya “moulding character and mind of the Young Generation” atau dalam bahasa UU No. 20 Tahun 2003 “dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak”,UU No. 14 Tahun 2005 menggariskan ketentuan tentang perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugasnya. Ini maknanya tidak lain adalah agar guru dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pendidik professional tidak terganggu baik diintimidasi, tindak kekerasan, perlakuan diskriminatif, dan perlakuan tidak adil. Di samping itu UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 39 ayat (4) dan ayat (5) menggariskan jaminan perlindungan terhadap guru dalam masalah “pemutusan hubungan kerja, pelecehan, gangguan keamanan, dan berbagai hal yang dapat mengganggu ketenangan guru dalam melaksanakan tugasnya.

 Dengan berbagai ketentuan tentang jaminan kesejahteraan dan perlindungan terhadap guru yang demikian ideal sebagai yang digariskan dalam UU No. 14 Tahun 2005, bila semuanya ini dapat dilaksanakan secara konsisten tidak ada alasan bagi guru untuk tidak melaksanakan tanggung jawab profesionalnya secara prima.

 Dan sebaliknya bila guru dengan segala jaminan tersebut melanggar kode etik dan melaksanakan tugasnya secara professional kurang bertanggung jawab atau salah praktek, masyarakat -- terutama masyarakat profesi guru -- harus memberikan sanksi.

 Dengan demikian akan ada rasa aman bagi para guru dalam menjalankan tugas profesionalnya serta bertanggung jawab dengan sepenuh waktu dan sepenuh hati.
 Demikianlah beberapa pemikiran yang dapat penulis sajikan.


 Jakarta, Mei 2008
 Penulis/Penyaji,


 Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
 Guru Besar UNJ
 Ketua Umum ISPI
 Ketua DD CINAPS
 Anggota Forum Konstitusi

* Disajikan dalam Seminar Nasional Tentang “PERLINDUNGAN BAGI PROFESI GURU” yang diselenggarakan oleh FGII tanggal 25 Mei 2008 di Jakarta. Sebagian dari makalah ini telah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan “BEDAH UU NO. 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN DALAM KERANGKA PENINGKATAN PROFESI PENDIDIK DI INDONESIA” , yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia (ForMaPPI), di Lampung 4 Mei 2008[1] Delors, J. LEARNING : The Treasure Within , Report of The International Commission on Education for The 21st Century (1996), Paris, UNESCO* A NATION PREPARED : Teachers for the 21st Century. The Report of The Taskforce on Teaching as a Profesion, (1986), Carnegie Forum on Education and Economy* maksudnya “Early Child Development Programs”[2] Young, Mary Eming, EARLY CHILD DEVELOPMENT : INVESTING IN THE FUTURE, (1996) Washington DC, The World Bank* Li Lancing Education For 1.3 Bilion : On Ten Years of Education Reform and Development, (2004), Pearson Education : Foreign Language Teaching & R.P.
Share this article :


 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) - Kontak Person : 0812 2935 3524
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger