Home » » Guru dan Penghasilan Tambahan

Guru dan Penghasilan Tambahan

Written By ISPI Banyumas on 18/01/09 | 1/18/2009

Oleh:
Rudi Mulyatiningsih, S.Pd

Guru SMP Negeri 2 Purbalingga,
juara I Lomba Inovasi Layanan Bimbingan dan Konseling Tingkat Nasional Tahun 2008. Anggota Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)


Sumber: Suara Merdeka
PENGHASILAN tambahan guru berupa kesejahteraan di luar gaji yang didanai dari Komite Sekolah kembali dipersoalkan. Harian ini bahkan pernah membuat judul berita yang kurang mengenakkan, ”Dana Komite Diduga untuk Bancakan Guru” (Suara Merdeka, edisi Suara Banyumas, 6/12 08).

Berita ini didasarkan dari hasil pengawasan Inspektorat Pemerintah Kabupaten Banyumas yang dilaporkan ke Dinas Pendidikan. Dalam laporan itu, konon dana Komite digunakan untuk kepentingan yang tidak berkaitan dengan kepentingan pendidikan, seperti seragam guru dan karyawan, bingkisan lebaran, dan dana transportasi.

Berita ini telah membuat para guru terpukul. Tidak saja di Banyumas, kaum guru di Jawa Tengah pun tentu turut merasakannya, karena (maaf) mungkin mereka juga menerima kesejahteraan dari dana Komite. Persoalan ini tidak dapat dibiarkan, agar guru tidak makin terjerumus ke dalam kemelut persoalan kesejahteraan tambahan di luar gaji.

Tugas Guru

Masalah penghasilan tambahan berupa kesejahteraan lain-lain bagi guru tidak terlepas dari deskripsi tugas guru. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84/Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, salah tugas pokok guru adalah merencanakan program, melaksanakan, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melaksanakan tindak lanjut hasil evaluasi, dan dinilai sebagai unsur utama dalam usul penilaian angka kredit.

Pemberian tunjangan profesi bagi guru yang telah bersertifikat pendidik juga dengan syarat mengajar minimal 24 jam. Dapat dikatakan bahwa guru digaji memang untuk kegiatan tersebut.

Persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok hampir-hampir tak pernah ada, termasuk penggajiannya. Pemerintah telah mengaturnya dengan jelas, baik untuk guru PNS maupun honorer.

Pun tentang strategi pelaksanaannya. Mulai dari kurikulum yang digunakan, durasi setiap satu jam pelajaran, jumlah jam per minggu untuk setiap mata pelajaran, sampai jadwal pelaksanaannya, semuanya sudah diatur.

Adakah tugas guru selain tugas pokok? Kenyataan di lapangan menunjukkan, banyak guru yang mendapat tugas tambahan. Misalnya menjadi ketua program studi, wali kelas, guru piket, urusan, kepala laboratorium, petugas perpustakaan, panitia pengembangan potensi siswa, panitia ulangan atau ujian, hingga pengawas ulangan dan koreksi, sampai menjadi bendahara dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau Komite Sekolah.

Tugas-tugas itu bisa diperhitungkan dalam angka kredit kenaikan pangkat maupun penilaian fortofolio sertifikasi. Sebagai konsekuensinya, hampir sebagian besar (baca: semua) sekolah memberikan honorarium atau kesejahteraan dari dana Komite, meskipun pelaksanaannya berdampingan (jika tidak boleh dikatakan bersama-sama) dengan tugas pokok. Bolehkah demikian?

Bagaimana pula dengan tugas tambahan yang dilaksanakan di luar jam sekolah? Bukankah banyak guru yang melakukan pembimbingan siswa pada sore hari. Misalnya melatih pengembangan bakat melalui ekstrakurikuler. Umumnya, aktivitas ini pun mendapat dukungan dari pihak sekolah termasuk memperoleh transport. Apakah ini juga dilarang?

Aturan Jelas

Dari deskripsi tugas pokok guru, rasanya boleh-boleh saja jika sekolah memberi kesejahteraan di luar gaji untuk tugas tambahan. Apalagi jika kegiatan tersebut dilakukan di luar jam sekolah. Persoalannya, sampai sekarang belum ada petunjuk yang mengatur tentang tugas tambahan dan pemberian honornya.
Jangan biarkan tugas mulia guru sebagai pembangun insan cendekia ternoda, hanya karena menerima penghasilan tambahan. Pemerintah sebagai pihak pemberi gaji dan tunjangan profesi bagi guru seharusnya bisa membuat deskripsi lebih rinci tentang semua tugas guru, pokok maupun tambahan, yang dibayar dari gaji atau tunjangan profesi. Bila perlu, batasi juga tentang jam kerjanya, sehingga jelas antara jam dinas dan lembur.

Aturan tersebut dapat menjadi acuan Komite Sekolah dalam memutuskan kegiatan guru yang perlu didanai komite itu. Tetapi agar tak digugat, Komite Sekolah sebagai wakil orang tua atau wali siswa perlu menyusun aturan tertulis tentang penggunaan dana komite.

Nyatakan dengan jelas kegiatan-kegiatan guru yang boleh diberi honor dari komite dan yang tidak, termasuk besar kecilnya rupiah. Sebab besarnya dana Komite Sekolah tidak sama, mungkin saja terjadi perbedaan pemberian honor antara sekolah satu dengan lainnya. Bahkan sangat mungkin ada Komite Sekolah yang tidak memberinya, karena memang tidak ada dana.

Jadi Komite Sekolah jangan hanya berperan mencari dana saja, tanpa memiliki peran kontrol sehingga ”menjerumuskan guru”. Laporan kepala sekolah setiap bulan perlu dicermati. Jika ternyata menyimpang dari aturan komite, segeralah meminta kepala sekolah untuk memperbaikinya, sehingga tidak terjadi kesalahan bertahun-tahun, sampai mencemarkan nama guru.

Orang tua murid sebagai anggota Komite Sekolah juga harus berani mengoreksi kegiatan pengurus komite. Tidak perlu khawatir akan menimbulkan persoalan bagi anaknya, karena guru tidak pernah mengaitkan persoalan nilai siswa dengan peristiwa apapun.

Tak ketinggalan, pemerintah perlu membuat pedoman tentang penggunaan dana sumbangan orang tua murid kepada Komite Sekolah. Adanya aturan tersebut akan mengendalikan Komite Sekolah sehingga tidak berjalan sendiri tanpa kendali. Dan kalau sekarang disinyalir ada Komite Sekolah yang kongkalikong dengan sekolah, tentu tidak akan terjadi lagi.

Kembali ke persoalan penghasilan tambahan. Sambil menunggu lahirnya aturan tentang pemberian honorarium tugas lain-lain, hati nurani dapat digunakan untuk berpijak.

Misalnya, apakah pantas seorang kepala sekolah mengusulkan honor guru kepada Komite Sekolah untuk membuat soal, mengoreksi, melakukan remidial teaching sore hari, menjadi panitia try out, ulangan semester, maupun ujian nasional? Bukankah itu termasuk tugas pokok guru?

Selanjutnya, pantaskah kepala sekolah meminta upah dari Komite Sekolah sebagai penanggung jawab program atau koordinator kegiatan di sekolah? Bukankah itu penjabaran dari tugas kepala sekolah yang sudah dibayar negara?

Pemberian tugas tambahan dengan prinsip pemerataan, tanpa memperhitungkan kemanfaatannya sehingga terkesan mengada-ada, juga harus dihindari.

Lebih bijak jika dana tersebut difokuskan untuk peningkatan mutu proses belajar mengajar. Sangat mungkin, tugas tambahan yang notabene tidak berkaitan dengan proses pembelajaran menyebabkan guru meninggalkan tugas mengajarnya di kelas. Misalnya, jika ada monitoring keuangan, maka bendahara harus mendampingi tim.

Honor tugas tambahan juga belum tentu menyejahterakan guru. Kini muncul jabatan-jabatan ”bergengsi” di sekolah karena honornya besar, sehingga menimbulkan konflik antarguru.

Adanya aturan yang jelas tentang tugas tambahan guru dan pemberian honorariumnya bukan hanya bisa menyejahterakan guru secara lahir, tetapi juga batin. Kalau toh akhirnya guru harus melakukan tugas tambahan tanpa honor, saya yakin mereka tetap rela melakukannya, demi kemajuan sekolah dan murid-muridnya. (320


Share this article :

0 komentar:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) - Kontak Person : 0812 2935 3524
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger