Home » » JALAN “MENDEKAT” KEPADA ALLAH

JALAN “MENDEKAT” KEPADA ALLAH

Written By ISPI Banyumas on 21/02/09 | 2/21/2009

Oleh: Achjar Chalil

Saudaraku seiman. Semoga saudaraku selalu dilimpahi petunjuk dan taufik hidayah dari-Nya. Kutulis naskah kecil ini ini sebagai sebuah upaya untuk “bersedekah” dalam rangka menghambakan diri kepada Allah.

Saudaraku, seringkali kita mendengar di TV, membaca di surat kabar, atau mendengar dari teman, bahwa si fulan terkena stroke, si fulan terkena serangan darah tinggi, dan si fulan mengalami ‘gangguan jiwa’ karena jabatannya dicopot, dan seterusnya-dan seterusnya. Peristiwa demi peristiwa yang terkait dengan jiwa sering terjadi, dan umumnya orang pergi ke psikolog untuk mencoba mencari jalan keluar dari kemelut jiwa.

Kosep pendidikan di negara kita mewarisi konsep pendidikan Barat, sehingga filsafat pendidikan kita juga mengacu kepada filsafat barat yang notabene tidak mempercayai adanya ‘Ruh’ kata lain dari jiwa sebagaimana firman allah dalam surah As Sjams ayat 7-10 yang tercantum disini. Kebanyakan kita tidak memaknai jiwa sebagai ‘Ruh’, bagi kita jiwa adalah sesuatu yang menyangkut perasaan, yang diamati melalui perilaku yang ditumpangi oleh unsur-unsur biologis (kanakkanak, pubertas, dewasa, tua).

Di era renaisans, ilmuwan barat menjauhkan diri dari gereja, filsafat barat yang dimotori oleh Plato, Socrates, Aristoteles, dan diteruskan oleh Rene Descartes melihat sosok manusia hanya dari dua dimensi, pertama, dimensi akal (otak), dan kedua dimensi fisik, mereka tidak mengenal dimensi yang ketiga yaitu jiwa (ruh).

Pengaruh filsafat barat ini pada akhirnya menjadi “gurita” yang “melilit” alam pikiran para cendikiawan dan ilmuwan dimana saja termasuk para cendikiawan dan ilmuwan yang tinggal dan hidup di bumi Indonesia, hatta para cendikiawan dan ilmuwan yang mengaku sebagai muslim. “Gurita” barat ini begitu kuat melilit konsep pendidikan di Indonesia, jadilah bangsa ini menjadi bangsa yang “terbelah jiwanya”.

Lihatlah anggota DPR yang terhormat, mereka manusia cerdas, namun bergilir mereka duduk dibangku pesakitan karena terlibat korupsi! Mantan menteri agama tentulah orang yang ‘alim (menguasai banyak ilmu dan teori keagamaan), namun juga harus duduk dibangku terdakwa
dan dihukum karena korupsi, demikian juga mantan Ketua KPU yang Profesor Doktor dari Universitas kebanggaan bangsa, harus masuk penjara karena urusan surat suara.

Ini semua terjadi karena mereka belum menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup, bahkan bagi sebagian para cendikiawan dan ilmuwan yang mengaku dirinya muslim, alergi jika harus mengutip ayatayat Al Qur’an. Bagi mereka bisa jadi Al Qur’an adalah ‘Benda Kuno’ yang tak lagi layak dijadikan referensi dalam menjalani hidup (jika seseorang diberi usia 70 tahun, maka hidupnya di dunia ini hanya 365 x 70 = 25.550 hari, tidak sampai 100.000 hari), bagi mereka ini
penalaran/rasio/akal adalah hal yang paling diutamakan (dalam konteks penalaran, bagaimana saya harus menjelaskan ketika berjalan ke Padang dengan Sepeda Motor, saya bermohon kepada Allah, agar saya tidak ditimpa hujan, maka memasuki Sawahlunto, hujan pun turun, di belakang saya hujan, di depan saya hujan. Saya berjalan ke depan, hujan di depan menjauh ke depan, hujan di belakang mengikuti, saya berjalan di antara dua hujan).

Kehidupan modern telah “mendewakan” nalar. Segala sesuatu diukur dengan nalar (akal), buruk baiknya sesuatu diukur dari nalar yang sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang teman yang sangat terpelajar pernah berkata kepada saya, “Jika anak perempuan saya sudah
dewasa maka kepadanya akan saya anjurkan agar senantiasa membawa kondom di dalam tasnya”. Lain waktu ada acara semarak dalam rangka memperingati hari AIDS sedunia, penggunaan kondom dikampanyekan secara terbuka, nalar manusia modern(?) berkata, silahkan berhubungan seks dengan aman, padahal para ahli kesehatan sudah mengingatkan
bahwa virus aids masih dapat melewati pori-pori kondom! Dan agama manapun melarang perzinahan...alias seks bebas.

Pendewaan terhadap nalar membuat dunia mengalami kehancuran dan kerusakan secara sistematis. Alam dan lingkungan rusak, para pemilik modal dengan nalarnya barangkali berkata, “biar saja hutan itu gundul, yang penting perusahaan saya untung”. Pak Farid Anfasa
Moeloek pernah berkata kepada saya, “Hutan mangrove itu jangan dirusak, sungguh sangat banyak kegunaan mangrove itu bagi manusia, kalau harus diuraikan secara detail akan memakan mata kuliah 3 sks”. Seorang Farid bisa saja berkata demikian, namun pemilik modal dengan sukacita menebangi hutan mangrove di pantai utara Jakarta dan menjadikannya perumahan mewah, nalar pengembang rumah mewah itu barangkali berkata, “yang penting perusahaan saya untung”.

Kehidupan hedonis sebagai akibat pendewaan kepada nalar menyebabkan banyak orang berlomba-lomba menumpuk harta dengansegala cara, jika dia berhasil maka dia akan sukacita, jika gagal, maka jiwanya terguncuncang, stress, narkoba adalah jalan keluar yang paling
ampuh bagi mereka untuk “lari’ dari persoalan hidup, mereka adalah insan yang jauh dari agama.

Saudaraku, Allah yang Maha Pengasih memberi pilihan kepada kita dalam menjalani hidup. Jika kita memilih dan mengembangkan unsur ketakwaan, insya Allah, jiwa kita akan bersih. Renungkanlah ayat berikut,

yang saya kutip dari Surah As Sjams ayat 7-10.
7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
8. maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.
9. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
10. dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Ayat ini adalah “jalan” bagi kita untuk mendekat kepada Allah. Maka lakukanlah pensucian jiwa terus menerus, caranya arahkan niat, melakukan segala sesuatu yang baik dihadapan Allah dalam rangka menghambakan diri kepada Allah, dan mensucikan jiwa sesuai dengan
anjuran Allah. Menegakkan shalat tidak lagi diniatkan untuk masuk surga atau mendapat pahal, shalat ditegakkan dalam rangka menghambakan diri kepada Allah dan mensucikan jiwa. Urusan pahala, serahkan saja kepada Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah ingkar dengan janjinya.

Saudaraku sesungguhnya jiwa siapapun apa pun agamanya adalah suci, manusialah yang membuat jiwa yang suci itu terbelenggu.

Aku lebih...aku lebih....dan merasa lebih ini pada akhirnya akan menutupi jiwa yang suci dimana “kekuasaan Allah bersemayam”, jiwa ini pun tak lagi mampu “membangun komunikasi” dengan Allah Sang Pencipta, tak lagi mampu “menangkap frekuensi” dari Allah yang “dipancarkan”-Nya setiap saat. Jiwa pun “terserang virus” dengki, tamak, takabur, merasa hebat. Jiwa pun terserang “penyakit” cinta dunia, takut mati, dan merasa diri akan hidup selamanya, tak tahu kapan harus “berhenti” dan tak tahu dimana dia “harus berhenti” mengejar dan mencintai dunia dengan segala isinya.

Saudaraku. Aku adalah insan yang “merindukan” Allah. Bagiku kematian hanyalah “sebuah pintu” dimana aku harus kembali ke kampung halaman yang abadi.....Namun pada saat yang sama aku terus berkarya dan beribadah dalam rangka menghambakan diri kepada Allah...Salam.

Cimone Permai-Tangerang-Banten
20 Februari 2009 pkl. 18:52.


Share this article :

0 komentar:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) - Kontak Person : 0812 2935 3524
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger