SEMARANG- Masyarakat acap menafsirkan secara keliru program sekolah gratis. Masyarakat mengira pemerintah tak sekadar menggratiskan biaya sekolah, tetapi juga menanggung beban hidup anak usia wajib belajar, seperti uang transpor dan alat tulis.
”La wong anak yang tak sekolah saja butuh biaya kok. Jadi biaya pribadi peserta didik, misalnya uang saku, transpor, sepatu, buku/alat tulis, adalah tanggung jawab peserta didik, dalam hal ini orang tua,” kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo.
Dia menyatakan hal itu di hadapan para rektor, kepala dinas pendidikan, dan pakar pendidikan se-Jawa Tengah, pada acara sosialisasi ”Kebijakan Pendidikan Gratis Pendidikan Dasar Tahun 2009 dan UU BHP” di LPMP Srondol, Semarang, kemarin
Karena itu dia meminta pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang peraturan sekolah gratis. Sebab, kondisi setiap daerah berbeda. ”Perda itu harus jelas mengatur mana yang gratis dan mana yang dibebankan ke peserta didik. Kalau perda tidak abu-abu, tidak akan diprotes masyarakat.”
Dia juga menyatakan biaya operasional sekolah (BOS) tahun ini meningkat. Namun itu tak menghalangi peserta didik/orang tua/wali murid yang ingin memberikan sumbangan sukarela yang tak mengikat ke sekolah. ”Harus dibedakan antara sumbangan dan pungutan. Saat ini tak sedikit kepala sekolah takut menerima sumbangan karena khawatir diperiksa kejaksaan.”
Padahal, ujar dia, itu diperbolehkan. Sebab, jumlah dan waktu penyerahan sumbangan tak ditentukan. Selain itu sumbangan ke sekolah merupakan bagian dari kedewasaan masyarakat.
Tiru Sulsel
Dia mengemukakan beberapa pemerintah provinsi menambah BOS dari APBD, antara lain DKI (dua kali lipat), Sumsel, Sulsel, Sulteng, Jabar, dan Kaltim. ”Jawa Tengah tak usah ikut-ikut DKI karena tidak akan mampu. Sebaiknya meniru Sulsel,” katanya.
Dia menyatakan kondisi Jawa Tengah dan Sulsel hampir sama. Pemerintah Provinsi Sulsel bersama kabupaten/kota sepakat menambah separo dari anggaran BOS lama. ”Tahun 2008, Sulsel mewujudkan pendidikan gratis.”
Pemerintah Sulsel, kata dia, juga menandatangani nota kesepahaman dengan polisi dan jaksa. Hal itu berkait dengan penindakan yang bisa ditangani (pidana) dan tidak (administratif). ”Ada sekolah dengan anggota komite sekolah guru besar sebuah perguruan tinggi di sana. Namun sekolah itu memungut biaya pendidikan. Namun aparat menindak tegas, tidak pandang bulu dan memerkarakannya ke jalur hukum,” ujar dia.
Soal UU BHP, dia mengajak masyarakat membaca lebih dahulu secara utuh sebelum mengkritik. ”UU BHP diamanatkan UU Sisdiknas. Itu reformasi struktural satuan pendidikan. Jadi otonomisasi satuan pendidikan lebih optimal dan mengarah ke demokratisasi satuan pendidikan.”
Dia membantah anggapan bahwa pemerintah lepas tangan dengan menerbitkan undangundang itu. Sebab, pemerintah tetap menanggung biaya wajib belajar pendidikan dasar, biaya operasional, dan sebagainya.
Dia menampik BHP identik dengan komersialisasi. Karena, siapa pun yang terbukti memperkaya diri sendiri akan dikenai sanksi tegas, yakni diancam hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta. (H11-53)
Sumber: Suara Merdeka
Sekolah Gratis Acap Disalahtafsirkan
Written By ISPI Banyumas on 17/02/09 | 2/17/2009
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar