Home » » Siswandi, Bukan Guru Biasa

Siswandi, Bukan Guru Biasa

Written By ISPI Banyumas on 22/05/09 | 5/22/2009

Oleh: DENI KURNIAWAN AS'ARI
(Ketua Umum Agupena Jawa Tengah)

Siswandi, seorang guru sekaligus kepala sekolah ini, merupakan salah satu Pembina Agupena Jawa Tengah. Beliau lahir di sebuah desa yang sepi, pada tanggal 4 Juni 1959, tepatnya di desa Kaliori Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas. Ayahnya bernama Hadi Aswan (Mantan Guru) dan ibunya Suprihatin. Menurut ibunya, Siswandi saat lahir memiliki tubuh yang amat kecil dan kurus sehingga sering dijuluki seekor kucing kecil. Anak kedua dari delapan bersaudara (empat orang meninggal dunia) ini memiliki semangat kepenulisan yang luar biasa dan perlu ditiru oleh segenap keluarga besar Agupena.

Siswandi mulai belajar menulis artikel saat beliau sudah masuk semester dua di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Muhammadiyah Purwokerto. Awal konsep ditulis tangan, setelah itu diketik di balai desa Kaliori atau meminjam mesin ketik milik SD Kaliori 1. Biasanya beliau mengetik pada hari Sabtu sore sampai Minggu siang. Konon, mengetik naskah selembar saja harus menghabiskan waktu hampir dua jam. Setelah naskahnya selesai, kemudian beliau kirimkan ke Redaksi SKM Jakarta dengan perangko biasa sebesar Rp 50,00 kala itu.

Menurut penuturannya, “ Entah berapa puluh naskah yang dikirimkan ke Redaksi Suara Karya Minggu (SKM), namun tak pernah terpampang tulisannya , di setiap edisi terbaru.” Beliau juga rajin menulis puisi, artikel remaja dan gambar vignette, tetapi berbulan-bulan tetap tak ada satu pun tulisannya yang dimuat.

Dengan kenyataan tersebut, teman dekat sekolahnya, Bambang sempat berujar” Buat apa kirim tulisan terus kalau tidak dimuat. Sudah payah, pusing, uang untuk beli perangko melayang sia-sia. Untuk beli bakso jelas ada gunanya.” Mendengar kata-kata temannya itu, Siswandi sungguh merasa sedih dan sakit. Beliau katakan, “ Seperti ditusuk ribuan jarum.”

Namun, bukan Siswandi namanya kalau harus patah semangat. Dia terus menulis dan menulis sampai akhir kelas 3 SPG. Namun rupanya dewi portuna masih belum mau menghampirinya, sehingga sampai kelas 3 SPG itu tidak ada satu pun naskah yang dimuat. Sekali lagi beliau tidak putus asa dan sempat terhibur ketika mendapat informasi melalui kontak pembaca SKM bahwa setiap minggunya ada sebelas ribu naskah yang masuk ke redaksi SKM dan berarti banyak teman lainnya yang ditolak dan memiliki nasib yang sama.

Akhirnya Siswandi banting setir, karena gagal terus di SKM, memilih untuk berlatih mengarang menggunakan bahasa Jawa. Beliau menulis dongeng untuk koran berbahasa Jawa, namanya Parikesit yang diterbitkan di Solo. Rupanya dari sini debut kepenulisan Siswandi dimulai, ketika naskah dongengnya dimuat dalam satu halaman penuh. Betapa bahagianya Siswandi kala itu dan mendapat honor sebesar Rp 500,00 (lima ratus rupiah) yang setara dengan harga bakso lima mangkuk. Dia pun mendapat uacapan selamat dari keluarga dan teman-temannya.

Kesuksesan pertama ternyata menjadi pendorong Siswandi untuk terus menulis. Selanjutnya beliau menulis lagi beberapa dongeng yang dikirim ke Majalah Jawa Penyebar, hasilnya naskahnya kembali dimuat dan selanjutnya setiap naskah yang dikirim ke Parikesit pun hampir setiap minggu dimuat.

Debut Kepenulisan
Bakat dan kemampuan kepenulisan Siswandi terus diasah, termasuk ketika pertama kali mendapat tugas sebagai guru SD di tempat terpencil, tepatnya SD Negeri Cikakak 4 (6 KM jalan kaki dari ibukota kecamatan). Di rumah dinas guru, Siswandi menghabiskan masa mudanya untuk mengajar siswa sekaligus mengembangkan kepenulisanya di tempat yang sepi dan sunyi. Mengingat di sekolahnya belum ada mesin ketik, maka Siswandi membuat konsep tulisan tangan untuk kemudian diketik di rumah. Beliau merencanakan kalau sudah mendapat gaji pertama akan membeli mesin ketik.

Bulan pertama, Siswandi berhasil menyelesaikan cerita bersambung bahasa Jawa dengan judul Ati Kang Keri (Hati yang Tertinggal). Cerita itu dimuat secara bersambung di koran Mingguan Jawa Parikesit. Koran itu oplahnya besar karena hampir semua SD di Jawa Tengah dijatah untuk berlangganan.

Naskah Siswandi akhirnya sering muncul dan membuat honornya semakin banyak. Sebelum rapel gaji beliau terima, sudah berhasil membeli mesin ketik merk fish yang harganya Rp 27.000,00 pada awal tahun 1980. Honor penulisannya datang silih berganti dari berbagai penerbitan. Konon beliau tidak pusing lagi masalah keuangan karena belum gajian pun duitnya masih banyak.

Tempat mengajarnya yang sunyi dan terpencil itu seolah membawa hoki tersendiri, karena dari sana lahir berbagai karya Siswandi. Inspirasinya terus mengalir dan mengalir bagaikan air sungai. Aktifitasya mengajar dan mengetik naskah. Sampai tiba saatnya, SKM yang dulu selalu menolak tulisan beliau, akhirnya luluh tak berdaya dan mau menerbitkan karyanya.

Sejak itulah Siswandi mulai dikenal dan menjadi pembicaraan orang banyak terutama di wilayah Wangon. Hampir setiap minggu rekan sejawatnya membaca tulisan beliau. Sebagian honor tulisannya digunakan untuk mentraktir makan bakso teman-temannya dan jalan-jalan ke Purwokerto.

Siswandi, dari Lomba ke Lomba
Setelah sukses menulis di media, Siswandi yang telah lama menjadi guru mencoba peruntungannya untuk mengikuti lomba. Beliau mulai mengikuti lomba atas desakan Kepala Dinas Pendidikan Wangon saat itu tahun 1992. Waktu itu ada pengumuman lomba mengarang cerita anak berbahasa Jawa yang diadakan oleh Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Akhirnya dewi fortuna itu mau mendekatinya, dengan judul naskah Langite Hiru Resik (Langit Biru Bersih) berhasil menjadi pemenang pertama setelah menunggu pengumuman selama 3 bulan. Hadiahnya berupa Tabanas sebesar gaji selama satu bulan ditambah trophy.

Tahun berikutnya, Siswandi megikuti lomba yang sama dan berhasil menjadi juara dua. Menurut beliau, “ Saya senang membaca majalah Jawa sejak SMP”. Sehingga menjadi modal tersendiri dalam memenangkan perlombaan.

Tahun 1993 Siswandi kembali mengikuti lomba dan kali ini lomba mengarang guru tingkat nasional. Awalnya dia tidak mau iku karena merasa kurang percaya diri ketika dari Bayumas belum ada satu pun guru yang berhasil menjadi pemenang.

Bukan Siswandi namanya kalau tidak mencoba, Akhirnya, Siswandi menulis karangan yang berjudul Pelangi di Atas Taman Hati. Dan sungguh menggembirakan, karyanya masuk final 6 besar dan harus ikut bertanding di final yang diadakan di Jakarta dan akan dibuka langsung oleh Mendikbud kala itu, Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro.

Rupanya Siswandi memang bukan guru biasa, dia kembali menunjukkan kemampuannya dengan menggondol juara ketiga Lomba Mengarang Guru Tingkat Nasional dengan membawa pulang throphy dan Tabanas senilai Rp 600,000 padahal gajinya waktu itu hanya Rp 275.000 ditambah uang transport dan jalan-jalan ke tempat rekreasi secara gratis.

Kerinduan untuk meraih juara selalu membuat Siswandi makin bersemangat mengikuti lomba mengarang. Pada bulan Maret 1994, beliau mendapat brosur tentang Sayembara Penulian Naskah Buku bacaan dari kantor Depdikbud Kecamatan Wangon. Semangat menulis Siswandi memang tiada duanya, saat itu beliau langsung menulis naskah buku dan membutuhkan waktu 3 hari untuk menyelesaikannya. Naskah kali ini diberi judul Lambaian Seribu Bunga dan lagi-lagi Siswandi beruntung karena berhasil menjadi juara ketiga dengan hadiah sebesar Rp 750.000.

Setahun meraih Tiga Gelar Juara
Tak puas dengan prestasi yang telah dicapai, Siswandi terus mengikuti lomba. Tahun 1995 beliau mengikuti lagi sayembara penulisan naskah buku bacaan dengan pilihan buku bacaan fiksi SD. Dengan menulis cerita mengambil setting perkampungan nelayan dengan tokoh utamanya Gunawan dan diberi kudul Senandung Ombak. Untuk karya kali ini berhasil mendapat juara harapan kedua dengan hadiah Rp 1.000.000,00

Boleh jadi, tahun 1995 itu menjadi tahun keberuntungan bagi Siswandi karena berhasil menggaet juara sampai tiga kali berturut-turut. Selain juara harapan nasional, juga masuk nominasi Provinsi Jawa Tengah dan mendapat hadiah Rp 1.250.000.00 ditambah juara kedua mengarang cerita anak berbahasa jawa tingkat provinsi Jawa Tengah.

Keberuntungan Siswandi berikutnya, buku Seandung ombak tak lama kemudian terbit dan Siswandi mendapat royalty Rp 5.400.000,00 Menurut penuturannya, “ Dengan satu buku itu saya bisa membangun dapur keramik, kamar mandi dan ruangan tingkat 2 ukuran 3 X 6 meter”.

Masih banyak prestasi kepenulisan beliau yang lain yang berhasil diraih. Saking banyaknya, maka penulis akhiri sampai di sini.

Ibroh yang dapat dipetik adalah menulis merupakan keterampilan yang perlu diasah dan dikembangkan terus menerus. Sosok Siswandi ini barangkali bisa menjadi spirit bagi kita untuk terus belajar menulis.

Selamat untuk Pak Siswandi atas capaian prestasinya. Dan terima kasih atas kesediaanya untuk berbagi dan menjadi pembina Agupena Jawa Tengah. ***


Share this article :

0 komentar:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) - Kontak Person : 0812 2935 3524
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger