Home » » Kembali ke IKIP, Kenapa Tidak?

Kembali ke IKIP, Kenapa Tidak?

Written By ISPI Banyumas on 12/03/13 | 3/12/2013

Oleh :  Wagiran Suwito

SEIRING dengan diberlakukannya Undang-Undang Guru dan Dosen, keberadaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (IKIP) mutlak diperlukan untuk mempersiapkan guru yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, serta memiliki sertifikat profesi. 

Euforia universitas yang mengganti lembaga pendidikan tinggi yang berupa institut, akademi, dan sekolah tinggi menjadi universitas secara membabi buta, telah berlangsung lebih dari enam tahun. Sebagai bentuk euforia ini, muncul hal-hal yang menggelikan. Ada universitas-padahal tetap IKIP, universitas yang masih berbentuk sekolah tinggi, dan ada juga universitas yang berupa akademi.

Pengelompokan jalur pendidikan tinggi seperti yang dimaksudkan Pasal 20 Undang-Undang Sisdiknas, yang berupa akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas menjadi kacau.
IKIP sebagai pencetak guru profesional telah berganti baju menjadi universitas sejak tahun 1999 sebagai bentuk perluasan mandat universitas eks-IKIP. Sepanjang enam tahun ini, belum terlihat adanya peningkatan kualitas lulusan yang berarti, baik lulusan yang merupakan calon guru (sarjana pendidikan) maupun lulusan nonkependidikan. Bahkan ada kecenderungan merosotnya kualitas lulusan, baik lulusan yang menempuh jalur kependidikan maupun nonkependidikan.

Ini terjadi karena sumber daya manusia dan fasilitas yang dimiliki eks-IKIP yang memang sangat minim, terpecah dua, yaitu untuk mempersiapkan calon sarjana pendidikan dan sarjana nonkependidikan.
Universitas eks-IKIP jadi semakin terpuruk nasibnya. Dia telah gagal menjadi lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang mempersiapkan sarjana pendidikan profesional dan juga belum berhasil mempersiapkan sarjana nonkependidikan. Dengan perluasan mandat pada universitas eks-IKIP dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi.

Maksud hati "sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui", tetapi kenyataannya ibarat "Si Cebol merindukan bulan", atau "Si Pandir yang hendak mengangkangi dua dunia". Istilah yang populer "IKIP wurung, universitas tanggung".

Autokritik ini tidak dimaksudkan untuk melecehkan universitas eks-IKIP, yang memang sudah lama dilecehkan banyak pihak, tetapi untuk evaluasi dan refleksi menuju ke perubahan yang lebih baik. Bagaimanapun juga, IKIP mutlak diperlukan, apalagi setelah undang-undang guru dan dosen diberlakukan.

Kembali ke IKIP
Sudah saatnya keberadaan universitas eks-IKIP yang disinyalir menghasilkan lulusan yang berpredikat guru wurung dan ilmuwan tanggung, ditinjau kembali. Mungkinkah IKIP kembali lagi dengan wajah dan format yang baru?

Wajah baru IKIP sebagai pencetak guru profesional dapat mengacu pada pola pendidikan Akmil dan Akpol. Kemunculan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional, yang baru saja dibentuk barangkali dapat menjadi jembatan pengembangan IKIP secara profesional.

"IKIP Baru" bukan lembaga pendidikan tinggi umum yang dapat didirikan dan dikelola oleh sembarang orang dan sembarang organisasi.

Juga tidak dapat menerima calon mahasiswa secara gegabah. Untuk mengelola IKIP perlu persyaratan khusus agar menghasilkan calon tenaga kependidikan yang profesional.

Syarat tersebut antara lain; memiliki dan menguasai disiplin ilmu pengetahuan; dapat mengelola pelaksanaan program belajar-mengajar; dapat mengembangkan program belajar-mengajar secara terintegrasi untuk suatu kurun waktu pembelajaran; dan mengenal, memahami, serta dapat mengembangkan dan melaksanakan sistem dan program evaluasi baik sebagai alat pendidikan maupun bagian dari manajemen program belajar-mengajar.

Ikatan Dinas
Mahasiswa IKIP sebaiknya direkrut secara khusus dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan serta menggunakan pola ikatan dinas. Seperti yang dilakukan pada calon perwira militer dan Polri di Akmil dan Akpol. Ini artinya jumlah LPTK dan jumlah mahasiswa perlu dibatasi dalam ukuran yang rasional.

Anggota Dewan Penasihat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Prof. Dr. Santoso S. Hamidjoyo melontarkan gagasan dalam diskusi yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-41 ISPI bahwa keberadaan LPTK (IKIP dan Universitas eks-IKIP) yang ada perlu ditinjau ulang, cukup relevan dalam konteks ini.

Jumlah IKIP perlu dibatasi, baik jumlah lembaga maupun jumlah mahasiswanya. Selain itu, pemerintah juga harus mau menyediakan ikatan dinas dan asrama bagi semua mahasiswa kependidikan, seperti yang dilakukan di Akmil dan Akpol. Selain itu, tiap IKIP harus dilengkapi dengan Lab School yang memadai dan memungkinkan calon guru berdiri di depan kelas sejak awal.

Ada baiknya kita belajar dari Departemen Pertahanan dan Keamamanan. Keberadaan Akademi Militer (Akmil) dan Akademi Kepolisisan (Akpol) sebagai bentuk lembaga pendidikan profesi yang mempersiapkan para calon perwira TNI dan Polri sengaja diciptakan untuk keperluan terbatas.

Tidak semua orang atau organisasi dapat mendirikan Akmil dan Akpol. Dan juga jumlah calon mahasiswa/perwira, dibatasi sesuai dengan kebutuhan. Ini menjadikan para lulusan Akmil dan Akpol profesional dan siap pakai. Adalah langkah maju bila IKIP juga seperti itu.

Tidak seperti LPTK (IKIP, Universitas eks-IKIP, dan FKIP) yang jumlahnya menjamur. Produksi calon guru saat ini sangat tidak terkontrol, baik jumlah maupun kualitasnya. Pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional seolah-olah sudah memasabodohkan kualitas pendidikan dengan membiarkan munculnya LPTK dan/atau program studi baru yang kurang profesional. Pembukaan dan penutupan Program Studi baru dapat dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Lihat saja, kasus pembukaan Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa di beberapa LPTK yang hanya didasarkan pada mekanisme pasar.
Bahkan pada dekade terakhir ini, tidak ada lagi sistem pembinaan perguruan tinggi swasta dalam bentuk pendampingan dan ujian negara. Mekanisme kontrol terhadap proses pendidikan dan kualitas lulusan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat/ pasar.

Selain itu, penerimaan mahasiswa kependidikan dalam jumlah yang besar, baik pada perguruan tinggi negeri (kelas paralel) maupun swasta, jelas tanpa perencanaan yang matang. Sekali lagi, pemerintah menutup mata terhadap persoalan ini.

Bila Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Dr. Ari Tri Soegito, S.H., M.M., (Suara Merdeka, 6/11) menganggap penerimaan CPNS guru sebagai bentuk pelecehan terhadap LPTK dapat dipahami karena selama ini beliau merasa telah mengelola LPTK secara profesional.

Di pihak lain, pemerintah daerah juga punya alasan mengapa penerimaan CPNS guru perlu diseleksi. Ini karena tidak semua LPTK dikelola secara profesional dan tidak semua lulusan LPTK memiliki kemampuan profesional yang memadai. Selain itu, jumlah lulusan LPTK tidak seimbang dengan kebutuhan guru sebagai
akibat tidak terkontrolnya jumlah lulusan LPTK.

Analogi Rektor Unnes bahwa lulusan LPTK tidak perlu dites untuk menjadi guru seperti lulusan Akmil untuk menjadi TNI dan Akpol untuk menjadi Polri, dapat diterima bila LPTK dikelola seperti Akmil dan Akpol. Artinya, pola pengelolaan LPTK dilakukan secara khusus dengan jumlah mahasiswa sesuai dengan kebutuhan.

Pengembalian universitas eks-IKIP menjadi IKIP, dengan format baru, baik negeri maupun swasta, tidak perlu dilakukan pada semua perguruan tinggi eks IKIP. Perlu dilakukan seleksi secara ketat pada perguruan tinggi yang akan mengelola para calon tenaga kependidikan.

Perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat sebagai pengelola LPTK dapat terus menjadi universitas dengan tanpa kewajiban membuka program kependidikan. Dengan demikian, universitas tidak perlu membuka FKIP dan IKIP tidak perlu membuka program nonkependidikan. (11)
- Drs. Wagiran Suwito, M.Hum, dosen Universitas Negeri Semarang (eks-IKIP Semarang)
Share this article :

0 komentar:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) - Kontak Person : 0812 2935 3524
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger