Oleh Mi'raj D. Kurniawan, S.Pd
Avant Propos
Siti Nurbaya, seorang gadis perawan, akhirnya menyerah kalah, bertekuk lutut dinikahi seorang kakek tua rentenir kaya bernama Datuk Maringgih. Tetapi di sisi lain, meski tubuhnya terpaksa menjadi milik sang datuk yang umurnya jauh di atas ayahnya itu, hati Nurbaya tetap berkait pada sang kekasih, pemuda Saiful Bahri. Nurbaya jelas patah hati. Demikian pula Saeful Bahri, juga patah hati. Maka untuk mengurangi beban jiwanya, Nurbaya memilih pasrah menganggap peristiwa itu sebagai takdir. Sedangkan Bahri, memilih menjauhi Nurbaya, bergabung dengan pasukan tentara pejuang pribumi menentang penjajah kolonial Belanda.
Mengapa Ayah Siti Nurbaya tega menyerahkan anak gadisnya pada Datuk Maringgih, seseorang yang jika memperhatikan perbedaan umur di antara keduanya, seperti sosok kakek bagi Nurbaya? Karena utang. Ya! Ayah Nurbaya bangkrut. Sialnya lagi, ia bahkan ditelikung utang yang luar biasa besar pada sang datuk. Ayah Nurbaya tak mampu membayar. Sementara sang datuk bersama sekawanan tukang pukulnya terus-menerus datang menagih dan mengancam jiwa sang ayah jika tidak segera melunasi. Ayah Nurbaya kalut. Dalam situasi inilah, sang datuk meminta Nurbaya untuk dinikahi. Sang ayah yang gundah itu, dengan berat hati, merelakan anak gadisnya, karena dengan demikian, semua utangnya menjadi lunas.
Utang yang sulit terbayar telah membuat Ayah Nurbaya tidak berdaya, bahkan terpaksa mengorbankan anak gadisnya sendiri. Utang pula yang membuat Nurbaya terperangkap dalam situasi menerima pinangan sakral pernikahan dari seorang lelaki tua, meski tiada cinta sebesar zarah pun di hatinya. Lantaran tak mampu membantu membayar utang orang tua Nurbaya, Saiful Bahri harus menerima pil pahit dan merelakan kekasihnya dinikahi lelaki lain. Hubungan cinta Bahri dan Nurbaya berakhir tragis. Kehendak keduanya untuk merangkai ikatan pernikahan menjadi tak sampai karena lilitan utang.
Zaman telah berubah. Belakangan di negeri ini, fenomena pernikahan paksa seperti yang dialami sosok Siti Nurbaya dalam roman modern yang pertama berjudul Kasih Tak Sampai karya Marah Roesli (M.C. Ricklefs, 2005:382) ini, mungkin kian berkurang. Sayangnya, fenomena serupa malah mendera negara yang menjadi setting roman ini. Ya! sejak selepas memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang, tak henti-hentinya Indonesia dililit utang. Baru merdeka saja, punggung negeri ini telah tergopoh-gopoh menanggung utang. Pada akhir Orde Lama tahun 1960-an jumlahnya membengkak. Akhir Orde Baru semakin membumbung. Sekarang, boleh kita ibaratkan negara yang kita cintai ini telah bongkok merayap karena menanggung utang terlalu banyak. Apa yang terjadi entah mirip ungkapan, “gali lobang tutup lobang”, atau bisa jadi berupa “gali lobang tanpa bisa menutupnya lagi, dan malah menggali lagi lobang yang baru”.
Sejarah Nominal Utang Luar Negeri Indonesia
Kompas, Senin 24 November 2008 sebagaimna telah dikuti http://hizbut-tahrir.or.id (pencarian 28 Agustus 2009) menerangkan bahwa di akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 2.437 milyar. Itu hanya utang pemerintah. Lalu jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai US$ 67.329 milyar. Pada akhir tahun 2003 utang itu membengkak menjadi US$ 77.930 milyar. Sedangkan pihak swasta mulai mengutang pada tahun 1981. Pada tahun 1998 jumlah utang swasta mencapai US$ 83.557 milyar. Menjelang akhir tahun 2008, jumlahnya mencapai US$ 2.335,8 milyar.
Sesungguhnya pada tahun 1980 utang luar negeri Indonesia sudah dalam keadaan negative outflow. Sialnya, keadaan ini seolah-olah dibiarkan terus memburuk hingga saat ini. Begitu ujar Prof. Dr. Didik J. Rachbini, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana, dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Utang Luar Negeri di Jakarta, 23 April 2002.
Dalam http://www.mediaindonesia.com (pencarian 28 Agustus 2009), pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, menjelaskan bahwa Indonesia harus lebih mampu mengelola (manageable) utang dan mengurangi jumlah utang luar negeri. Utang luar negeri Indonesia pada tahun 2009 mencapai US$ 149 milyar. Tahun 2004 US$ 129,5 milyar. Faisal Basri juga menerangkan banyaknya cara untuk mengurangi jumlah utang ini. Di antaranya meningkatkan tax base, berhemat terhadap pengeluaran yang tidak perlu, serta melangsingkan birokrasi yang terlalu "gemuk".
Menurut Faisal Basri, pada awal krisis moneter (1997) beberapa tahun silam, Indonesia punya utang sebanyak 100 persen. Lalu berkurang menjadi 80 persen pada 2004. Sekarang jumlahnya hanya berkisar 30 persen.
Menurutnya pula, tindakan mengutang yang dilakukan Indonesia memang sulit untuk dihindari, karena negara-negara besar juga melakukannya. Ini karena kondisi ekonomi berfluktuasi, sehingga penerimaan suatu negara mungkin menurun, namun sektor pengeluaran pasti meningkat. Akhirnya utang dibutuhkan, karena tak mungkin gaji diturunkan dan beras miskin tidak dibagikan.
Lika-liku jumlah nominal utang negeri ini terlihat tragis sekaligus dramatis. Memasuki pertengahan semester kedua tahun 2008 jumlahnya meningkat US$ 2.335 milyar. Ini terjadi sebagai salah satu dampak penambahan signifikian akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap tiga valuta asing utama, yakni Yen Jepang, Dollar AS , dan Euro Uni Eropa. Jumlah utang sebesar itu terkesan melonjak drastis menimbang pada bulan Juni 2008, jumlah utang luar negeri masih US$ 1.780 milyar.
Cicilan yang harus dibayar tahun 2009 sebesar US$ 22 milyar, artinya pada tahun 2009 negara kita harus mengeluarkan Rp 250 trilyun. Terdiri dari, utang pemerintah US$ 9 milyar dan utang luar negeri (LN) swasta US$ 13 milyar. Di antara utang pemerintah itu, uang LN yang jatuh tempo pada 2009 senilai Rp 59 trilyun. Sedangkan cadangan devisa kita hanya US$ 50 milyar.
Jika kita komparasikan dengan jumlah penduduk Indonesia (± 230juta jiwa) dengan cicilan tahun 2009 itu, maka total cicilan yang harus dibayar pada tahun 2009 adalah Rp 1.086.000/jiwa penduduk. Bandingkan dengan UMR DKI Jakarta sebesar Rp 1.069.865. Sebenarnya bangsa ini juga, jika mau, bisa saja melunasi utang seluruhnya, namun tiap penduduk harus membayar Rp. 106 juta/jiwa.
Dengan total utang sebesar US$ 2.335 milyar dengan tingkat bunga sekitar 5%, maka jumlah bunga yang harus kita bayar berkisar US$ 116,7 milyar. Jika mengasumsikan satu penduduk Indonesia perlu mengeluarkan Rp 15 ribu sekali makan dan 3 kali makan dalam sehari (Rp 45.000), maka untuk bunganya saja selama setahun dari utang itu sangat mencukupi biaya makan penduduk Indonesia sebanyak 71 juta orang selama setahun.
Pendapat Chatib Basri, pengamat ekonomi dan anggota kampanye SBY-Boediono lain lagi bunyinya. Dalam http://www.antaranews.com ia mengatakan bahwa rasio utang Indonesia terhadap PDB turun dari 50 persen pada tahun 2004 menjadi 32 persen tahun ini (Juni 2009).
Menurutnya, penilaian terhadap kondisi utang luar negeri suatu negara tidak bisa dilihat dari jumlah utangnya belaka, tetapi juga harus melihat rasio utang suatu negara terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu. Contohnya utang luar negeri Indonesia sampai 2009 jumlahnya US$ 147 milyar, sementara utang luar negeri China US$ 323 milyar. Namun ekonomi Indonesia tidak lebih baik dari China meski jumlah nominal utangnya lebih sedikit.
Sekali lagi Chatib Basri menyatakan bahwa meskipun jumlah utang luar negeri Indonesia meningkat, tapi terlihat menurun jika membandingkan rasio terhadap PDB. Seperti menjawab saran Faisar Basri, Chatib Basri menegaskan bahwa fenomena tadi menunjukkan bahwa manajemen pemerintah terhadap utang sudah semakin baik.
http://www.mediaindonesia.com (pencarian 28 Agustus 2009) membeberkan jumlah nominal total utang luar negeri Indonesia pada tahun 2004 sebesar Rp 637 trilyun. Tahun 2005 menurun sedikit menjadi Rp 620 trilyun. Pada tahun 2006 menurun lagi menjadi Rp 559 trilyun. Tetapi jumlahnya bertambah lagi pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp 586 trilyun. Aduh! tahun 2008 jumlahnya meningkat drastis menjadi Rp 730 trilyun. Setahun kemudian (2009) bertambah lagi sebesar Rp 2 trilyun menjadi Rp 732 trilyun.
Di sisi yang lain, total surat berharga negara terus bertambah. Pada tahun 2004 jumlahnya Rp 662 trilyun. Tahun 2005 menjadi Rp 693 triliun. Tahun 2006 bertambah menjadi Rp 743 trilyun, tahun 2007 meningkat menjadi Rp 803 trilyun, tahun 2008 Rp 906 trilyun, dan akhirnya tahun 2009 menjadi Rp 968 trilyun.
Menimbang Kembali Kosep dan Praktik Utang dan Sistem Bunga Pinjaman
http://hizbut-tahrir.or.id (pencarian 28 Agustus 2009) mengemukakan bahwa kini, konsep dan praktik utang dan bunga pinjaman kian populer. Keduanya bahkan dianggap berperan penting dari mulai penempatan modal awal untuk memulai usaha sampai ekspansi bisnis. Padahal di dalamnya mengandung riba. Apa sebabnya? Karena ada perhitungan time value of money. Praktik ini terlihat jelas dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan pada bursa hingga pemerintah.
Konsep itu diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu maupun perusahaan takkan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga lumrah untuk mencari pinjaman, dan bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, sektor perbankan telah memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan dijadikan alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat lalu diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang. Padahal sekali lagi, ini adalah jerat berbahaya dari konsep utang dan ribawi.
Dampak Berbahaya Utang Luar Negeri
http://hizbut-tahrir.or.id (pencarian 28 Agustus 2009) mengutarakan setidaknya terdapat dua dampak umum dari proses mengutang bagi pihak peminjam. Pertama, dampak langsung dari utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik. Kedua, dampak paling hakiki yaitu hilangnya kemandirian dan terbelenggu keleluasaannya untuk menentukan arah pembangunan negeri peminjam oleh pemberi pinjaman.
Pengalaman dan sejarah menunjukkan susahnya negeri ini menentukan arah pembangunan yang dicita-citakan. Penyebabnya adalah term and condition atau syarat yang ditetapkan oleh rentenir (negara-negara donor) dengan adanya indikator-indikator baku yang ditetapkan, seperti arah pembangunan yang ditentukan (motif politis maupun motif ekonomi).
Misalnya selama ini AS dan Belanda di CGI sangat vokal menekankan sejumlah persyaratan kepada Indonesia tatkala akan mengucurkan utang. Padahal, jumlah pinjaman dari AS dan Belanda tak banyak, tak sebanding dengan kevokalannya. Sialnya , AS dan Belanda mampu memprovokasi anggota CGI lainnya untuk mengajukan syarat-syarat yang sangat membebani Indonesia (http://isei.or.id)
Akhirnya arah pembangunan Indonesia semakin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan made in negara Donor. Langkah negara-negara donor itu memang beralasan. Antara lain karena mereka harus menjaga, mengawasi dan memastikan bahwa pengembalian pinjaman tersebut plus keuntungan atas pinjaman, bisa dikembalikan oleh Indonesia .
Akan tetapi sialnya lagi alih-alih fokus menyejahterakan rakyat, akibat dari keharusan membayar cicilan utang dengan bunga yang besar itu malah membuat pemerintah Indonesia semakin menyengsarakan rakyatnya sendiri. Kenapa? Karena nyatanya, untuk mengembalikan sejumlah uang pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara (kekayaan hasil bumi dan pajak). Padahal seharusnya pendapatan negara disalurkan pada rakyat, baik melalui pembangunan sarana-sarana publik maupun meningkatkan kualitas SDM dan kualitas hidup masyarakat.
Utang Luar Negeri dan Penjajahan Model Baru
Dalam http://hizbut-tahrir.or.id (pencarian 28 Agustus 2009), Abdurrahman al-Maliki menerangkan setidaknya lima bahaya besar dari dampak utang luar negeri bagi pihak negara peminjam. Pertama, utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek milik negara adalah hal yang berbahaya terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Akibat lebih jauh adalah membuat masyarakat negara tersebut makin menderita karena ini merupakan modus untuk menjajah negara.
Misalnya fenomena Mesir yang dijajah Inggris melalui jalur utang. Begitu pula Tunisia dicengkram Perancis melalui jalur utang. Negara Barat bahkan membentangkan hegemoninya terhadap negara Utsmaniyah pada akhir masa kekuasaannya melalui jalur utang. Karena dengan utang yang menumpuk, Daulah Khilafah Utsmaniyah yang ditakuti Eropa selama 5 abad itu, sejak Sultan Muhammad al-Fatih menaklukan konstantinopel pada tahun 1453, akhirnya menjadi negara yang lemah tak berdaya. Sebagian kalangan menyebut Daulah Khilafah kala itu sebagai The Sick Man (manusia yang sakit). Sejarah juga menunjukkan bahwa negara-negara Barat sebelum Perang Dunia I menempuh cara memberi uang utang. Lantas mereka mengintervensi dan menduduki negara tersebut.
Kedua, sebelum utang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia , sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan di hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang. Hutang Itu Hutang. Hlm 9).
Hal itu berbahaya, karena rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia akan terkuak dan bisa dijadikan dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities) dalam pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher dan memelaratkan rakyat Indonesia . Contohnya pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM. Akibat akhirnya, hanya pihak negara-negara donor yang untung, sedangkan di sisi yang lain Indonesia semakin gigit jari, ditelikung jumlah utang yang menggunung.
Ketiga, pemberian utang adalah modus politik ekonomi agar negara peminjam seperti Indonesia tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu.
Keempat, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain, yang kebanyakan negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi. Negara-negara donor itu menjadikan negara-negara pengutang seperti Indonesia sebagai alat sekaligus ajang meraih kepentingan mereka, kendati harus menyengsarakan pihak Negara peminjam seperti Indonesia .
Dari dokumen-dokumen resmi AS terkuak bahwa tujuan bantuan utang luar negeri AS adalah mengamankan kepentingan AS dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” yaitu negara-negara kapitalis. Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Kemudian Presiden Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat yang diketuai Jenderal Lucas Clay untuk mengkaji masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil kajiannya. Terguratlah dokumen yang berbunyi bahwa tujuan pemberian bantuan luar negeri dan standar pemberian bantuan utang adalah “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’. Inilah sesungguhnya standar umum yang ditetapkan untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer AS.
Jadi kesimpulannya, tujuan kucuran bantuan utang luar negeri AS adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan utang seperti Indonesia tunduk di bawah dominasi AS. Tujuan akhirnya adalah Negara-negara penerima bantuan utang seperti Indonesia dapat dijadikan ibarat sapi perahan AS dan alat negosiasi untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya.
Kelima, utang luar negeri sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Utang jangka pendek berbahaya karena dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya dapat memicu kekacauan ekonomi dan keresahan sosial. Sebab bila pembayaran utang jangka pendek jatuh tempo, maka alat pembayaran yang digunakan berupa mata uang Dollar (hard currency). Akhirnya negara penghutang seperti Indonesia akan sulit melunasi karena keharusan menyediakan mata uang Dolar AS.
Untuk pembayaran utang Swasta, maka akan berdampak pada keterpaksaan membeli Dollar AS, dimana Dollar AS akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal (dalam hal ini misalnya Rupiah). Akhirnya hal ini akan berakibat menurunkan nilai mata uang lokal seperti Rupiah. Utang jangka panjang juga berbahaya karena makin lama jumlahnya makin banyak yang akhirnya dapat mengurangi APBN. Di situlah negara-negara donor terbukti bisa semakin memaksakan kehendak dan kebijakannya, betapa pun hal itu sangat merugikan negara penerima pinjaman seperti Indonesia .
Cara Bijak Menyikapi Utang Luar Negeri untuk Indonesia Sejahtera
Pendapat pengamat ekonomi Faisal Basri mungkin benar bahwa bangsa ini sulit untuk tidak berutang. Namun tentu saja uang pinjaman mesti dikelola dengan baik. Prinsipnya berutang untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar, dan bukannya malah menambah jumlah utang luar negeri tanpa keuntungan yang berarti, apalagi membuat jumlahnya semakin membesar dan negeri ini mengalami kesulitan hanya lantaran harus membayar bunga cicilan trilyunan rupiah tiap tahun.
Lebih bahaya lagi jika keharusan membayar utang yang sangat besar itu malah harus mengorbankan langkah-langkah menyejahterakan rakyat. Tentu berbahaya luar biasa jika yang terjadi kemudian adalah saling berhadap-hadapannya antara pihak birokrasi pemerintahan dengan rakyat dalam relasi pertentangan (resistensi). Apa sebab? Birokrasi pemerintahan terus berutang lalu menganak-emaskan kepentingan pihak negara donor, yang pada akhirnya bukan saja mengabaikan kepentingan rakyat kebanyakan (public), melainkan malah menindas rakyatnya sendiri.
Terbersit pertanyaan, kenapa Indonesia terus mengutang? Menurut Chatib Basri dalam http://www.antaranews.com, tujuan utama pembangunan ekonomi dengan berutang adalah supaya PDB negara ( Indonesia ) naik sehingga kegiatan ekonomi negeri ini berjalan dan kesejahteraan rakyat meningkat. Kalau tujuannya seperti ini, lalu mengapa jumlah utang semakin membengkak, sedangkan kepentingan negara terabaikan dalam kenestapaan dan kekurangan dari masa ke masa. Tentu saja tujuan itu sulit dicapai dengan langkah terus mengutang dan terengah-engah tiap tahun harus membayar cicilan, apalagi mengalami kebingungan mengatur alokasi dana; antara untuk belanja negara atau membayar cicilan utang.
Sebenarnya Indonesia bukan satu-satunya negara yang tergopoh-tergopoh karena dililit utang luar negeri. Selain Indonesia, ada pula Argentina yang utangnya membumbung tinggi. Namun negara ini sigap mengajukan pengurangan/penghapusan utang, sehingga kini persoalan utang tidak lagi menjadi masalah pelik bagi negara pemain bola Diego Armando Maradona itu.
Rupanya seperti Argentina , langkah pengurangan/penghapusan utang luar negeri Indonesia terhadap negara-negara donor juga sangat mendesak. Sebenarnya selama tiga tahun ke belakang, cara ini pun menemukan momentum resminya. Misalnya saat UN Millennium+5 Summit (September 2005 di New York ), KTT D-8 (Mei 2006 di Bali ), atau pertemuan G20 di Brasil (awal November 2008).
Langkah itu juga diperkuat dengan alasan – yang sesungguhnya – sangat efektif. Antara lain karena terjadinya bencana alam yang menelan korban dan kerusakan infrastruktur, seperti tsunami hingga gempa di Yogyakarta -Jawa Tengah. Entah karena segan, tidak berdaya atau karena ketidakmampuan, kenyataan menunjukkan pemerintah tetap tidak mengajukan penghapusan/pengurangan utang luar negeri Indonesia (sumber: www.atmajaya.ac.id/content.asp dan Kompas 14 Juni 2006).
Akhirnya – menurut pandangan penulis – hanya tersedia 3 pilihan langkah bagi Indonesia untuk menyelesaikan persoalan utang luar negeri yang membumbung tinggi ini. Pertama, mengutang terus pada negara-negara donor dalam jumlah yang relatif kecil dan hanya ketika terasa sangat mendesak, sekaligus menggunakan atau mengelola utang (modal) ini untuk menghasilkan pendapatan negara yang lebih besar lagi. Tentu tanpa harus mengorbankan kepentingan rakyat.
Kedua, menghentikan proses mengutang dari negara-negara donor tanpa mengajukan pengurangan maupun penghapusan utang, sembari mengefektifkan pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki untuk membayar sisa cicilan utang luar negeri, sekaligus berupaya menyejahterakan dan memakmurkan bangsa. Jika benar-benar ini dilaksanakan dan diinformasikan pada rakyat, lalu – kalaupun – harus terjadi pemotongan gaji para birokrat, tentu semua pihak akan setuju.
Ketiga, mengajukan pengurangan atau penghapusan utang luar negeri, juga menghentikan proses mengutang. Setelah utang dikurangi atau dihapuskan, maka bangsa ini membangun seluruh aspek kehidupan dengan hanya menggunakan modal yang ada.
Boleh jadi terdapat alternatif langkah lain untuk menyelesaikan persoalan ini. Hanya saja tentunya semua upaya yang ditempuh harus berpegang pada prinsip menghentikan proses mengutang, atau kalaupun harus mengutang, maka jumlahnya harus lebih kecil ketimbang jumlah modal yang ada untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Jika hendak berkaca pada sejarah, pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pernah mewariskan utang yang sangat besar pada akhir kekuasaannya. Sialnya lagi, rakyat di akar rumput tidak tahu-menahu mengenai praktik-praktik mengutang dalam jumlah besar yang ditempuh kedua orde pemerintahan tersebut. Padahal, boleh jadi, hal ini pantas disebut sebagai pembodohan kepada rakyat, karena rakyat tidak tahu, bahkan kurang sadar kalau negaranya tengah berada di ambang kebangkrutan karena dililit utang luar negeri yang mah
Siti Nurbaya, Indonesia, dan Utang Luar Negeri
Written By ISPI Banyumas on 21/11/09 | 11/21/2009
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar